Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Berkelana ke Negeri-negeri Stan (5)

Kompas.com - 12/03/2008, 09:05 WIB

                                                                                                                                                                                    [Tayang:  Senin - Jumat]


Istaravshan, Masa Lalu dan Masa Kini

Istaravshan baru saja merayakan hari jadinya ke 2500. Wow, usia kota ini sudah dua setengah milenium. Seperti layaknya kota-kota di Asia Tengah, Istaravshan juga berlomba-lomba merayakan angka jadinya yang ribuan tahun, seakan angka milenia itu menjadi tolok ukur tingginya peradaban.

Dua ribu lima ratus tahun yang lalu Iskandar Agung dari Makedonia datang menaklukkan negeri ini yang kala itu masih bernama Mug Teppa. Hari penaklukan itu diabadikan sebagai hari jadi Istaravshan. Namun, kedatangan Iskandar Agung yang tersohor tidak serta merta menjadikan kota ini berjaya sepanjang waktu.  Istaravshan timbul tenggelam dalam halaman sejarah, kadang terpuruk, bahkan mati suri selama ratusan tahun. Baru pada abad ke-15 orang Persia datang membawa sinar peradaban baru ke wilayah ini. Masjid dan madrasah bermunculan.

Ketika Istaravshan merayakan 'ulang tahun'-nya yang kedua ribu lima ratus, Tajikistan membangun sebuah gerbang megah di atas bukit gundul Mug Teppa, tempat sang Iskandar Agung pernah berdiri memandangi barisan bukit yang sama gundulnya

Istaravshan, yang waktu zaman Rusia diganti namanya menjadi Ura Teppa, memang bukan tandingan Bukhara atau Samarkand. Tetapi umur bangunan-bangunan kuno di sini  termasuk yang tertua di seluruh penjuru Tajikistan, cukup untuk dibanggakan sebagai khasanah peradaban nasional.

Namun, kekunoan Istaravshan  tidak terlihat dari jalan-jalan kota dan jejeran toko yang berbaris rapi di pinggir jalan beraspal. Kita harus masuk ke gang-gang sempit yang berputar bak labirin untuk menemukan permata Istaravshan yang sebenarnya. Medresseh Abdul Latif Sulton, tersembunyi di jantung kota lama di antara rumah-rumah berwarna coklat kelabu, adalah salah satu kekayaan dari masa lalu itu.
 
Madrasah kuno ini masih berfungsi sebagai madrasah, menerima murid-murid agama dari seluruh penjuru negeri. Salah satunya adalah Khursid, 20 tahun, dari kota Isfara. Untuk belajar di sini, biayanya hanya 15 Somoni per bulan, sudah termasuk penginapan. Yang dipelajari bukan hanya ilmu agama dan Bahasa Arab, tetapi juga bahasa Inggis. Katanya, mereka juga akan belajar komputer. Pemimpin madrasah sedang sibuk membuat laboratorium.

Pelajar madrasah di Istaravshan berpakaian trendy. Celana jeans, kaos berlengan panjang, dan kadang-kadang ditambah topi mungil khas Tajik. Tidak ada model talib ala madrasah Afghanistan yang tidak pernah lepas dari tiga hal – jenggot, surban, dan jubah.

Di dekat medresseh, juga tersembunyi di tengah labirin kota lama, berdiri masjid kuno Hauz-i-Sangin dari abad kesembilan belas. Saya datang untuk melongok-longok langit-langitnya yang berukir indah. Pintu pekarangannya terkunci.

Orang Istaravshan memang lebih religius dibanding orang Dushanbe. Di sini juga hidup warga etnis Uzbek, kira-kira 30 persen dari total penduduk. Bahasa Tajik  bercampur dengan aksen kental bahasa Uzbek. Bahasa Tajik masih satu keluarga dengan bahasa Persia di Iran dan Afghanistan, tetapi kosa katanya lebih kuno dan tidak banyak mengalami perkembangan sebelum Tajikistan menjadi negara merdeka. Selama di bawah Soviet, bahasa Tajik hanya selevel bahasa daerah. Sekarang setelah menjadi bahasa nasional, kata-kata yang berasal dari bahasa Rusia diganti dengan kata-kata dari bahasa Farsi Iran. Saya kebetulan bisa bahasa Farsi, tetapi saya masih sering susah mendengar logat orang-orang sini karena aksen Uzbeknya yang terlalu kuat.

Walaupun ada madrasah dan masjid di mana-mana, di bulan suci Ramadan, orang juga bebas makan dan minum di jalan-jalan umum. Pedagang sambusa, pastel khas Asia Tengah berisi daging kambing bersimbah minyak, terus-menerus berteriak memanggil pembeli. Asap kebab memenuhi sudut-sudut pasar, menggoda iman. Jangankan sambusa, kedai kecil yang khusus menjual pivo (bir) dan vodka juga masih ramai dikunjungi peminum. Konsumennya adalah etnis Tajik dan Uzbek, sama-sama Muslim, tetapi sudah berkawan akrab dengan nikmatnya vodka yang ditawarkan bersama komunisme Uni Soviet.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com