Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Berkelana ke Negeri-negeri Stan (11)

Kompas.com - 20/03/2008, 06:44 WIB

                                                                                                                                                                            [Tayang:  Senin - Jumat]


Sarandip=Indonesia?

            "Sekarang kamu bukan tamu lagi. Kamu sudah bagian dari keluarga ini. Mari masuk!" kata Muhammad Bodurbekov, alias Alisher, ramah.

Sudah beberapa hari ini saya menginap di rumah Alisher, tinggal di rumah Pamirinya yang indah. Tetapi pagi ini Alisher tidak lagi mengantar sarapan pagi saya ke chid atau Rumah Pamiri, melainkan mengajak saya ke bergabung dengan ibu dan adik perempuannya. Sarapan pagi orang Wakhan adalah shir choy, teh susu yang dicampur dengan mentega dan minyak. Rasanya asin. Dicampur dengan roti yang disobek kecil-kecil, diaduk-aduk dengan sendok, dan dihirup panas-panas.
           
            "Ini adalah sarapan yang luar biasa energinya, bahkan para pejuang zaman dulu cukup makan semangkuk shir choy sebelum berperang,” ucap Alisher.

Bagian Rumah Pamiri di rumah Alisher memang tradisional dan cantik. Tetapi ruang keluarga, tempat di mana Alisher sekarang mengajak saya menikmati sarapan, lebih kecil dan hangat. Di ruangan kecil ini tinggal bersama bapak, ibu, adik perempuan, dan beberapa orang keponakan si Alisher.

Adik perempuan Alisher, bersuamikan orang dusun Shegnon, pulang kampung ke Ishkashim untuk melahirkan. Menurut tradisi orang Shegnon, bayi pertama harus dilahirkan di rumah keluarga ibu. Alisher sekarang menggendong-gendong keponakannya yang masih orok. Bayi itu dibungkus kain berhias manik-manik, dan terbaring di atas guwara, ayunan bayi yang terbuat dari kayu. Ayah Alisher sudah pensiun, tunjangannya 93 Somoni per bulan, sekitar 25 dolar, terbilang cukup besar. Ibu Alisher masih bekerja sebagai kepala sekolah dasar. Alisher punya saudara kembar perempuan, sedang dirawat di rumah sakit karena kecelakaan mobil.

Kehidupan di Ishkashim sangat damai, di tengah kesepian lembah yang dikitari gunung-gunung tinggi. Ketentraman ini sebenarnya datang hanya belakangan ini saja. Ketika perang saudara pecah di negeri ini, pertikaian antar etnis terus menerus menggerayangi lembah ini. 

            “Orang Shegnon, Wakhan, Pamir, semua lapar, semua marah,” kenang Alisher.

Di gunung-gunung ini, beda desa terkadang bahasanya pun berbeda. Identitas etnis sangat kuat. Semua tiba-tiba menjadi masalah ketika negara sedang carut marut.

Ketika Alisher berkisah tentang masa lalu di zaman perang saudara, susah sekali bagi saya membayangkannya. Lembah Ishkashim sungguh tenang dan sunyi. Yang ada hanya rumput-rumput yang mulai menguning menyambut musim gugur, dengan rumah-rumah yang tersebar dengan jarak berjauhan. Di seberang sana, Afghanistan bukannya terlihat seram, tetapi sama damainya dengan di sini. Sebagai musafir yang sekadar melintas di sini, saya cuma merasakan kedamaian.

Tetapi hidup di sini tidak seindah lukisan yang terbentang di hadapan mata. Bantuan kemanusiaan dari Aga Khan terus-menerus dikurangi, untuk menumbuhkan kemandirian penduduk GBAO yang perlahan-lahan mulai bangkit dari keterpurukan perang. Sekarang orang harus berusaha sendiri, bekerja lagi membangun kehidupan dari awal. Namun badai terus menerpa. Harga minyak dunia melambung tinggi. Tajikistan yang miskin harus mengimpor semua barang karena di negeri ini hampir tidak ada industri. Ibu Alisher sampai terkejut setengah mati ketika tahu harga gula sekarang sudah 3 Somoni, hampir 1 dollar, per kilogram.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com