Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Berkelana ke Negeri-negeri Stan (19)

Kompas.com - 01/04/2008, 08:00 WIB

                                                                                                                                                                [Tayang:  Senin - Jumat]


Di Atas Reruntuhan Mimpi

Murghab memang didirikan di atas sebuah mimpi: sebuah kota perbatasan Uni Soviet yang tangguh di puncak pegunungan Pamir. Orang-orang dari lembah Wakhan, Shegnon, bahkan Kyrgyzstan, datang ke sini untuk membangun harapan dan impian itu. Tetapi negeri impian tidak selalu indah.

Kota ini terisolasi dari dunia luar setelah perang saudara meletus di negara baru Tajikistan. Penduduk bukan hanya kehilangan pekerjaan, tetapi juga tak punya makanan. Mereka tak seberuntung orang-orang desa yang masih bertahan hidup dari ladang-ladang dan kebun. Di Murghab, orang hanya punya sepetak rumah. Tak ada uang, berarti juga tak ada makanan.

Saya menginap di rumah Gulnoro, wanita berumur 54 tahun, adik khalifa Yodgor dari desa Langar. Gulnoro sudah lama sekali tidak melihat kakaknya. Terakhir kali dua tahun lalu. Jarak dari Murghab ke Langar tak lebih 270 kilometer, tetapi paling murah orang harus membayar 50 Somoni, sekitar 15 dollar. Sedangkan gaji Gulnoro sebagai guru sekolah dasar hanya 80 Somoni per bulan, itu pun masih berat untuk menghidupi keluarganya. Pulang kampung ke Langar adalah prioritas kesekian dari tumpukan tuntutan hidup.

Suami Gulnoro tidak bekerja. Beig, 56 tahun, sudah hampir setahun ini menganggur. Dulu dia bekerja di Rusia. Karena kemiskinan negerinya, banyak sekali pria-pria Tajik yang bekerja ke luar negeri, terutama ke negara-negara kaya macam Rusia, Ukraina, dan Kazakhstan.

            "Tetapi bekerja di sana sangat berat. Bagi orang miskin hidup di sana sangat susah. Gajinya pun sebenarnya tidak terlalu tinggi," keluh Beig.

Orang Tajik, karena kemiskinan dan pekerja migrannya, sering dipandang rendah di seluruh  penjuru bekas Uni Soviet. Kini, keluarga ini sepenuhnya bertumpu pada Gulnoro, si guru SD.

 Kata favorit Gulnoro adalah qin dan bichara, susah dan malang.
            "Hidup di sini qin dan bichara," Gulnoro mengucapkan kalimat ini lebih dari selusin kali dalam sehari.

Dengan pendapatannya yang cuma 80 Somoni, ia harus menghidupi suami dan ketiga anaknya. Sekarung tepung harganya sudah 70 Somoni. Itu pun masih belum cukup untuk satu bulan. Nasi, makanan kesukaan Gulnoro, sudah lama lenyap dari menu keluarga itu karena harganya  melambung tinggi di daerah pegunungan ini. Semua barang harus dibeli dari pasar. Dan, semua butuh uang yang tidak sedikit. Kakaknya di Langar masih berbaik hati mengirim karung demi karung kentang kepada Gulnoro, dititipkan kepada truk atau mobil apa pun yang melintas dari Langar.

Terlepas dari kesusahan hidupnya, Gulnoro bukan keluarga miskin. Mereka punya rumah besar. Ada dua ruangan utama. Satu yang lapang untuk musim panas. Satu yang kecil dan rapat untuk musim dingin. Toilet ada di luar, di sebelah rumah, dekat kandang kambing. Tradisi orang Tajik memang tidak menaruh toilet di dalam rumah. Gulnoro punya TV dan satelit digital. Ada juga oven kuno untuk membuat roti. Cerobong tak pernah henti menyemburkan asap ke langit dingin Murghab.

Walaupun pendapatan Gulnoro mungkin lebih rendah dari pendapatan seorang pengemis di Jakarta, ia tak pernah malu akan hidupnya. Walaupun Tajikistan sangat miskin, di sini tidak ada gelandangan. Panji-panji komunisme yang berkibar bersama Uni Soviet telah mengangkat derajad kaum miskin di seluruh penjuru negeri dan membuat semua orang sejajar. Tidak ada hal yang lebih memalukan daripada meminta-minta belas kasihan orang lain.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com