Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (7): Penantian di Pinggir Jalan

Kompas.com - 12/08/2008, 08:14 WIB
[Tayang:  Senin - Jumat]

Lengang. Kami berempat menanti dalam ketidakpastian. Tak ada manusia, tak ada kendaraan yang melintas. Kerajaan yang hilang itu tersembunyi di balik gunung-gunung tinggi sana.

Pria Jerman berjaket merah ini bernama Hans, seorang trekker sejati. Umurnya sudah mendekati lima puluhan, tetapi keberanian dan ketangguhannya melebihi orang muda sekalipun. Seorang diri ia sudah mengelilingi Tibet selama tiga bulan, mendaki gunung-gunung dan merambah tempat-tempat tersembunyi. Zanda, kerajaan Guge, termasuk tempat terakhir yang belum disentuhnya di tanah Tibet.

Hans bisa sedikit bahasa Mandarin. Bertualang di Tibet sebagai seorang laowai – bule – sangat tidak mudah.

          “Hitchhike – menumpang truk – sangat susah. Sopir truk kebanyakan tak berani mengangkut laowai, karena kalau tertangkap polisi mereka akan didenda mahal.”

Untuk soal permit Tibet, Hans lebih memilih mematuhi hukum. Tetapi itu pun tak mudah. Aturan di Tibet berubah setiap saat. Tidak ada yang tahu aturan apa yang sedang berlaku. Permit yang sudah dibeli mahal-mahal pun bisa jadi tak berlaku di tempat lain. Sekarang pada permit yang dipegang Hans pun tak tercantum nama Ngari, yang artinya ia pun pelancong ilegal.

Hans punya segudang nasihat terhadap para pelancong ilegal seperti kami.

          “Berhati-hatilah, di Barga nanti ada pos pemeriksaan besar. Di situ permit diperiksa. Di Lhatse juga ada. Lebih mudah kalau datang dari arah barat ke Lhasa, karena ibaratnya kamu datang dari daerah yang kurang aman masuk ke daerah aman. Kalau sebaliknya, dari Lhasa ke sini, bukan hanya permit yang diperiksa, mencari kendaraan pun susah setengah mati.”

Saya sungguh kagum akan keberaniannya. Dengan bahasa Mandarin yang terbata-bata, ia masih bertahan dalam pengembaraan ke tempat-tempat sulit di penjuru Tibet.

Satu jam berlalu. Angin mendesir, suaranya tinggi menderu, kemudian lenyap di balik gunung. Rumput menari-nari. Gunung membisu. Jalan raya yang mulus diam tak bersuara. Di dalam lingkup garis-garis cakrawala dan lekuk gunung di keempat penjuru hanya ada kami empat manusia, menanti dengan cemas dan pasrah untuk menumpang kendaraan murah.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com