Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (11): Om Mani Padme Hum

Kompas.com - 18/08/2008, 08:53 WIB
[Tayang:  Senin - Jumat]

Batu warna-warni berjajar. Di atasnya bertahta mantra suci Budha, “Om Mani Padme Hum”. Burung elang bertengger gagah di atas batu. Gunung suci Kailash menampakkan wajahnya yang tersembunyi di balik awan.

           “Perjalanan kora adalah penyucian jiwa,” kata si gadis China, Yan Fang, mengutip sebuah buku yang ia baca tentang kultur Tibet. Dan dalam perjalanan penyucian jiwa itu, orang harus menghadapi lika-liku, cobaan, hingga akhirnya sampai pada pencerahan.

Padang rumput yang membentang dan langit biru yang menangkup, semua khusyuk dalam keheningan gunung-gunung. Sebuah hening yang malah membuat hati bergemuruh. Melihat mantra Om Mani Padme Hom tertulis dalam huruf Tibet di atas batu mani, hati saya bergidik. Mantra itu seperti bergema dalam hati saya. Perlahan, tapi tak pernah berhenti.

Dari sebuah bukit, saya memandang ke arah padang rumput yang luas itu. Dua buah danau raksasa bersebelahan. Yang kiri berwarna biru, yang kanan berwarna hitam.

           “Yang kiri itu Danau Suci,” kata Yan Fang, “airnya adalah air suci. Orang Tibet juga ke sana, mengitari danau sampai belasan kali. Yang kanan adalah Danau Setan. Itu danau yang penuh angkara murka. Menyentuh airnya pun membawa petaka.”

Danau Suci, dalam tradisi Hindu disebut Manasarovar, milik Dewa Brahma. Orang Tibet menyebutnya Mampham-Yutso, danau yang tak tertaklukkan. Sedangkan Danau Setan, dikenal dengan nama Rakas Tal atau Langak-Tso, tempat bersemayamnya Rahwana. Di Danau Setan, walaupun bersebelahan saja dengan Danau Suci, sama sekali tak ada tanda kehidupan karena menurut legenda danau ini diliputi kuasa roh jahat.

Semakin saya berjalan, semakin berat rasanya. Seperti ketika kita sudah puas menikmati kesenangan duniawi, perjalanan batin menemukan cahaya terang sangat menyakitkan. Hari ini kami sudah berjalan hampir dua puluh kilometer. Sebenarnya bukan jarak yang jauh, tetapi karena oksigen di ketinggian lebih dari 4000 meter ini membuat siapa saja yang tidak biasa pasti terengah-engah.

Seum dengan sabar menuntun si Kim, gadis Korea kekasih hatinya itu, yang sudah pucat pasi. Kakinya hanya bisa menyeret. Berbekal tongkat kayu ia melangkah perlahan. Dari arah berlawanan, para peziarah Tibet melintas dengan penuh semangat. Bahkan nenek-nenek umur 80 tahunan masih lincah meloncati batu-batu besar sepanjang jalan.

Kim sudah nyaris tak kuat lagi, ketika kami memutuskan untuk beristirahat di tepi sungai kecil. Tak kurang dari setengah jam kami duduk di sini, sampai Yan Fang, si gadis China yang jadi pimpinan rombongan kami, mengajak kami berangkat.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com