Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Museum Hidup Jalan Raya Pos

Kompas.com - 20/08/2008, 03:54 WIB

DERETAN pohon asam rimbun, jalan aspal berpermukaan kasar, turunan tajam dan bentangan Sungai Citarum, itulah ruas Jalan Raya Pos (Groote Post Weg) yang tersisa sepanjang empat kilometer di jembatan lama Rajamandala, di perbatasan Cianjur-Bandung, Jawa Barat. Pembangunan Jembatan Tol Rajamandala awal tahun 1980-an menjadi berkah bagi situs Jalan Raya Pos yang relatif tersisa dalam keadaan utuh di lokasi tersebut yang kini diapit perkampungan.

Pohon Asam (Tamarind indica) adalah tanaman penghijauan asli sep anjang Jalan Raya Pos. Selain itu, pemerintah Hindia Belanda dengan bijak juga menanam Pohon Kenari atau Pohon Ketapang yang berumur panjang. Jauh berbeda dengan penghijauan Orde Baru yang menanam tanaman cepat tumbuh, mati dan kembali diadakan proyek-uang tambahan-dari penghijauan.

Pohon Asam, Ketapang dan Kenari yang tumbuh tinggi menjulang, berjajar rapat mengapit Jalan Raya Pos masih dapati dilihat tahun 1980-an di sekitar Kota Bogor dari pertigaan Jambu Dua ke arah Kolam Renang Milakancana menuju Istana Bogor-Pasar Bogor hingga kawasan Tajur.

Ketika itu, pohon Kenari yang menghiasi Jalan Raya Pos di Bogor dimanfaatkan para perajin untuk membuat suvenir dari buah kenari, parutan Kenari juga menjadi penambah rasa kue-kue Indisch pengaruh Belanda di kota Bogor yang dahulu dinamai pemerintah Hindia Belanda sebagai Buitenzorg atau Sans Souci-tanpa beban pikiran-dalam bahasa Prancis.

Pemandangan serupa, rimbunnya pepohonan Asam, Kenari dan Ketapang juga terlihat di jalan raya Cipanas-Cianjur atau pun jalur pantai utara (Pantura) di Cirebon-Tegal-Pekalongan-Semarang-Demak-Kudus-Pati hingga Lasem pada kurun 1980-an.

Sayang semua hilang tidak tersisa. Tidak ada lagi kerajinan tangan atau pun kue ditaburi Kenari asli Bogor. Kondisi serupa terjadi di dataran Priangan dan jalur pantura.

Kini yang tersisa dari Jalan Raya Pos yang asli hanyalah ruas jalan di jembatan lama Rajamandala yang melintas Sungai Citarum. Bahkan masih dapat ditemui lokasi penyeberangan sungai Citarum dengan perahu tambang di titik terendah sungai.

Ketika itu setidaknya hingga tahun 1852 dalam catatan perjalanan Walter Kinloch, kereta kuda yang ditumpangi harus naik rakit penyeberangan untuk melintas Tjitaroem.

"Turunan terjal saat menuruni lembah Tjitaroem dari arah Tjiandjoer. Kereta kuda dapat menyeberang sungai Tjitaroem dengan menumpang rakit tanpa hambatan apa pun. Selanjutnya kereta menaiki tebing terjal Tjitaroem dengan ditarik beberapa pasang kerbau. Dua utas tali dari kulit kerbau mengikat kereta dengan hewan penghela. Itulah bagian paling menegangkan saat menyeberangi Sungai Tjitaroem," demikian tutur Kinloch dalam catatan yang diterbitkan dengan judul Rambles in Java and The Straits in 1852.

Penambangan pasir, batu sungai, pertanian di delta sungai, sampan pengangkut penumpang dan menjala ikan menjadi pokok penghidupan masyarakat Rajamandala di tepi Sungai Citarum. Amun (45) warga asli Rajamandala di Kampung Muhara, Desa Cihea, terlihat sibuk memecah batu sungai dengan palu di perkampungan di tepi Citarum.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com