Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (17): Patah Semangat

Kompas.com - 26/08/2008, 08:26 WIB
[Tayang:  Senin - Jumat]


Sembilan puluh jam berlalu sejak saya berangkat dari kota Ngari. Hujan rintik-rintik turun di Lhasa. Ransel saya, yang disimpan di bagasi, terbungkus lumpur lengket setebal satu sentimeter. Kaki saya lemas, ditekuk sepanjang jalan. Yang paling parah, motivasi saya turut hancur.

Sembilan puluh jam yang terbuang di atas bus sempit dan pengap sudah menggerogoti semangat berpetualang saya.. Perjalanan di Tibet tak mudah. Saya sungguh takut menghadapi lintasan yang selanjutnya membentang di hadapan saya - Lhasa, Shigatse, Gyantse, sampai ke Nepal. Masihkah saya punya cukup keberanian untuk menyelundup tanpa permit, main kucing-kucingan dengan tentara dan polisi, menumpang truk sepanjang jalan sampai ke batas akhir perjuangan? Tubuh saya yang remuk redam sudah tak ingin lagi bermain gila-gilaan. Mendung tebal yang menyelimuti kota Lhasa seakan mewakili isi hati.

Banakshol Hotel adalah salah satu penginapan paling legendaris di Lhasa. Petualang asing dan dalam negeri menginap di losmen bergaya arsitektur Tibet. Nuansa backpacker ghetto ala Khao San Road (Bangkok) atau Phan Ngum Lao (Saigon) yang jarang dijumpai di tempat lain di negeri China, hidup di sini. Saya menginap di sebuah dormitory bersama Man Fai si turis Hong Kong dan seorang turis lain asal Inggris yang hendak berangkat ke Nepal.

          “Pergi ke Nepal sangat mahal,” kata si turis Inggris, “orang asing harus naik jip resmi. Biayanya bisa sampai sepuluh ribu Yuan.”

Saya tak punya uang sebanyak itu. Papan pengumuman di Banakshol Hotel selalu penuh dengan selebaran, berisi backpacker yang ingin mencari teman seperjalanan untuk membagi ongkos transportasi yang mahal. Salah satunya, dua orang Inggris berencana berangkat ke Everest Base Camp, mencari seorang penumpang tambahan untuk membagi ongkos jip yang 9350 Yuan. Kalau dibagi tiga atau empat orang, mungkin masih cukup terjangkau.

Saya sempat tergoda. Saya mengirim email kepada sang turis, walaupun sebenarnya ia tinggal di kamar sebelah. Si turis langsung merespon keesokan harinya, menyambut baik niat saya yang ingin naik jip sama-sama.

Tetapi, hati saya masih belum bertekad. Sedari dulu saya selalu menghindari kegiatan turisme. Pengalaman pertama kali saya ber-‘wisata’ adalah ikut grup turis China, dari Beizing menuju Xi’an. Sebuah pengalaman yang sekali saja langsung membuat kapok. Seorang pemandu wisata bertopi merah, berbendera merah yang terus dikibarkan. Turis-turis memasang topi merah dan pin warna merah, biar tidak hilang di jalan. Ke mana-mana kami harus mengikut sang pemandu, seperti kawanan domba yang digiring gembalanya. Ini tak boleh, itu tak boleh, semua harus turut perintah.

Justru pengalaman itulah yang kemudian membuat saya menjadi backpacker seperti sekarang ini. Perjalanan ke Mongolia dengan berkemah di padang rumput, dilanjutkan petualangan gila ke Afghanistan setelah jatuhnya Taliban, membuat saya semakin berani menghadapi tantangan.

Apakah berkeliling Tibet dengan menyewa jip, mereduksi semua kesusahan menjadi kenyamanan dan kesenangan, adalah petualangan Tibet yang saya impikan? Berkali-kali, saya bertanya sendiri. Betapa pun kenikmatan itu sungguh menggoda, tetapi jawabannya tetap, tidak.

Tetapi tubuh saya sekarang lemah. Saya sakit, diare berat. Sekarang berjalan pun susah. Keberanian sudah menipis. Saya tak yakin, saya masih berani bermain petak umpet dengan polisi lagi. Sekarang saya cuma ingin sampai ke Nepal, mengakhiri penderitaan perjalanan di sini.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com