Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (18): Modernisasi

Kompas.com - 27/08/2008, 07:30 WIB
[Tayang:  Senin - Jumat]

Kota Lhasa bukan lagi ujung dunia yang misterius. Tibet bukan lagi atap dunia yang tak terjamah. Shangrila ini tidak lagi hidup dalam dunianya sendiri.

Istana Potala, bekas tempat kedudukan Dalai Lama, menjulang tinggi di puncak bukit, terletak di pusat kota Lhasa. Siapa yang tak kenal landmark Tibet ini? Bangunan belasan lantai dengan seribu kamar lebih ini sudah ada sejak zaman ratusan tahun silam. Megah, menjulang gagah.

Saya pernah menonton dokumentasi tentang Tibet tahun 1930-an. Kala itu, Potala sudah berdiri menjulang, dikerumuni oleh orang-orang Tibet dengan pakaian yang rumit dan berat. Kereta kuda dan keledai di mana-mana. Hulubalang kerajaan berjubah panjang, bersanggul, memakai topi seperti mangkuk. Gambaran Lhasa itu benar-benar mistis, sebuah dunia yang terkurung dalam kosmologinya sendiri. Lhasa disebut sebagai Forbidden City – kota terlarang yang tak terjamah dunia luar.

Tibet, tak pernah diakui sebagai negara merdeka, tetapi pernah punya sistem pemerintahan sendiri. Theokrasi, atau pemerintahan agama, membuat rakyat Tibet larut dalam pemujaan tanpa henti. Rakyat tak lagi memikirkan pembangunan material, kesenangan duniawi. Yang semakin besar adalah kuil-kuil dengan patung emas raksasa, istana Potala yang menggurita, serta sekelompok kecil keluarga yang mendominasi pemerintahan seluruh negeri. Sementara rakyat kebanyakan, hidup dalam kemiskinan dan keterbelakangan, namun berbahagia dalam dunianya sendiri.

Tetapi sekarang, jangan lagi mencari pemandangan seperti itu di sini. Di Lhasa modern, uang juga sudah menjadi dewa. Istana Potala, sejak menjadi daya tarik utama turis di Tibet, mematok karcis masuk yang sangat mahal. Seratus Yuan untuk setiap pengunjung China dan orang asing, harus dipesan sehari sebelumnya dengan alasan untuk membatasi jumlah pengunjung maksimal tiga ribu orang per hari.

Istana Potala adalah permata yang tak ternilai. Di dalamnya, harta karun Tibet yang paling berharga tersimpan rapi. Saya yang kemampuan kantongnya sangat terbatas, hanya bisa mengagumi keanggunan istana raksasa itu dari luar saja, di lapangan yang kini meriah oleh panji-panji warna-warni menyambut perayaan empat puluh tahun berdirinya Daerah Otonomi Tibet di bawah kibaran bendera Republik Rakyat China.

Kuil Jokhang, salah satu kuil terpenting dalam pemujaan umat Budha Tibet, kini mematok tiket seharga 70 Yuan. Berdasar informasi yang saya dapat dari para backpacker mbeling yang punya taktik menghindari tiket, waktu terbaik untuk menyelinap ke Jokhang adalah subuh, bergabung dalam aliran ratusan peziarah Tibet.

Hujan rintik-rintik ketika langit masih gelap. Di Lapangan Barkhor, di hadapan kuil Jokhang, sudah ada belasan orang Tibet yang khusyuk beribadah. Mereka melaksanakan peribadatan yang khas – berdiri, bersembah, tengkurap, berdiri lagi, sampai ratusan kali. Rintik hujan dan dingin pagi hari bukan menjadi halangan.

Tiba-tiba, datanglah serombongan turis China, jumlahnya sekitar dua puluhan, dibawa pemandu wisata. Menyaksikan pemandangan yang tidak biasa, mereka langsung mengeluarkan kamera, berjalan dengan anggun di antara orang bersembahyang, menjepretkan blitz tanpa henti di hadapan orang-orang yang merayap, tertawa-tawa dan berkomentar sinis tentang ‘keanehan’ orang Tibet. Unik, antik, etnik, primitif, dan itulah yang menjadi daya tarik. Turisme yang merambah Lhasa bersama modernisasi, menjadikan ritual keagamaan ini hanya sekadar tontonan turis yang ‘mencari misteri atap dunia’.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com