Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (27): Berbalut Khata

Kompas.com - 09/09/2008, 08:00 WIB
[Tayang:  Senin - Jumat]

Cuaca di pegunungan berubah cepat. Yang tadinya langit biru dan gumpalan mungil, kini sudah menjadi mendung tebal menggelayut. Saya tak melihat apa-apa, hanya putih kelabu yang dingin.

           “Shushu,” kata Donchuk, tukang sepeda motor yang mengantar saya sampai ke Everest Base Camp ini, “Masuk dulu. Qomolangma memang tergantung nasib. Banyak orang yang sampai sini juga tak lihat apa-apa. Moga-moga besok cuaca bagus.”

Saya kembali ke tenda. Yang tinggal di sini adalah kawan Donchuk dan istrinya. Keduanya berkulit hitam, kasar, terbakar matahari. Si suami mengenakan jaket hijau ala jiefangjun - Tentara Pembebasan, model pakaian China yang cukup populer di Tibet. Istrinya berwajah datar, dengan rambut panjang dikepang dan dililitkan melingkari kepala. Mereka tak bisa bahasa Mandarin dan saya tak bisa bahasa Tibet. Perbincangan kami lebih banyak tak sambungnya.

Walaupun demikian, saya merasakan kehangatan sebuah keluarga sederhana Tibet. Si istri menyiapkan teh mentega - minuman utama orang Tibet. Cara membuatnya khusus. Air teh yang sudah bersih dari daun ditumbuk bersama dengan mentega, garam, dan susu. Tumbukannya juga tak biasa, kurus dan panjang, terbuat dari kayu.

Teh susu mentega ini bisa pula jadi makanan, disiramkan ke bubuk jewawut tsampa, yang hasilnya kemudian menjadi bubur mirip makanan bayi. Tsampa asalah makanan pokok paling populer di Tibet.

Tuan rumah selalu sibuk. Cawan saya tak pernah kering oleh teh susu mentega. Dalam cawan, teh juga tak pernah menjadi dingin. Kalau lama tak diminum, lelaki Tibet itu langsung mengambil cawanku, melemparkan isinya ke tanah, dan diisi lagi dengan yang masih panas.

Ketika makan malam bersama, kami laki-laki duduk di meja. Donchuk dan temannya berwajah merah padam, mabuk berat setelah menenggak bermangkuk-mangkuk chang, minuman beralkohol dari jewawut.

Istri teman Donchuk duduk di bawah, makan sendirian di dekat tungku. Menunya nasi putih dengan sedikit sayur. Nasinya semangkuk penuh, sayurnya cuma seujung sumpit. Persis menu wajib kuli bangunan di Beizing.

Keluarga ini tidak terlalu kaya. Tak ada daging di atas meja makan mereka yang gelap dan sederhana. Tadi waktu di jalan menuju ke sini, Donchuk mengajak saya makan bersama seorang kawannya. Menunya bongkah daging yak ukuran besar, diiris dengan pisau kecil, dan langsung dilahap tanpa dicampur apa-apa lagi. Rasanya memang tawar, seperti biasanya makanan bangsa-bangsa pengembara di padang rumput yang tak menghasilkan bumbu dan ragam sayuran.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com