Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (47): Pernikahan Seorang Kawan

Kompas.com - 07/10/2008, 07:51 WIB
[Tayang:  Senin - Jumat]

Kami sampai di kota Gorkha, asal muasal nama tentara Gurkha yang termasyhur di seluruh dunia itu. Bukan untuk mencari pasukan, tetapi untuk menonton acara pernikahan.

Namanya Deepak. Umurnya seumuran dengan saya. Ia bicara bahasa Melayu patah-patah, tetapi lagak bicaranya seperti bos besar saja, mungkin belajar dari majikannya di Johor Bahru.

          “Nanti di Gorkha boleh tengok orang kawin, you know! Gorkha jauh sangat, you know! Nak ambil bus, sampai sana boleh tengok-tengok, you know!”

Lam Li kenal Deepak di Freak Streeet. Mereka langsung akrab, karena pengalaman Deepak bekerja di Malaysia. Seperti halnya tenaga kerja asal Indonesia, pekerja asal Nepal, India, Pakistan, dan Bangladesh pun banyak di Malaysia. Deepak cuma pekerja kasar saja di sana, jadi pelayan di toko onderdil.

Pria kerempeng berkulit gelap ini berkata bahwa ada kawannya yang menikah di dusun Ghorka. Ia mengajak Lam Li, yang mengajak Qingqing si gadis Beijing, yang kemudian mengajak saya. Jadilah rombongan kami berangkat pukul enam pagi dari Kathmandu yang masih dingin.

Gorkha terletak sekitar 150 kilometer dari ibu kota, melintasi jalan raya utama Kathmandu – Pokhara, berbelok ke utara di pertigaan Abu Karim. Walaupun dulunya pekerja kasar di Malaysia, Deepak lebih bergaya. Ia tak mau naik bus murah, takut muntah katanya. Kami terpaksa menuruti keinginannya, naik angkutan kota yang lebih mahal.

Sebenarnya bus lebih nyaman daripada naik angkutan seperti ini, di mana belasan penumpang dijejalkan dalam mobil kecil, melintasi jalan raya sempit yang berbelok-belok. Perut saya mual, sejak pagi belum makan. Sebenarnya sebelum berangkat, kami sudah menawari Deepak untuk makan terlebih dahulu di warung sebelah terminal. Tetapi pria desa ini tak mau. Airnya kotor, alasannya.

Deepak sangat pemilih dalam hal makanan karena ia berasal dari kasta Brahmana. Untuk membuktikan ke-Brahmana-annya, ia menunjukkan tali putih suci yang menyilang dari pundak kanan ke pinggang kiri, melekat terus di tubuhnya sepanjang tahun. Ke-Brahmana-annya itu pula yang membuatnya rewel, tak mau makan masakan orang dari kasta yang lebih rendah.

Berjam-jam perjalanan, akhirnya kami sampai di kampung halamannya Deepak. Wajahnya riang. Ia melompat turun mobil penuh semangat. Kami harus membayar ongkosnya karena ia beralasan tak bawa uang. Tak ada raut bersalah di wajahnya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com