Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (50): Naik Bukit

Kompas.com - 10/10/2008, 05:18 WIB
[Tayang:  Senin - Jumat]


Ada pepatah Jerman mengatakan, orang tidak seharusnya memuji hari kalau belum sampai malam. Orang tidak seharusnya senang di tengah jalan kalau belum melihat hasilnya. Hari pertama trekking Annapurna tak semudah yang saya bayangkan.

Jalan-jalan keliling desa ini sebenarnya boleh juga. Sawah hijau menghampar di kanan kiri, mengingatkan saya pada hijaunya kampung halaman. Orang-orang Newari yang tinggal di sini pun mirip orang Jawa kulit dan perawakannya, walaupun sedikit lebih mancung. Bahkan kaum perempuannya pun memakai sarung batik sepanjang mata kaki. Motifnya pun mirip dengan yang dipakai perempuan desa di Jawa. Tak salah memang, sarung batik Indonesia banyak diekspor ke sini.

Kalau dilihat secara detail, ada pula bedanya. Perempuan Hindu Nepal umumnya menindik hidung sebelah kiri, lalu dipasangi cincin kecil. Cara mereka bekerja mengangkut barang pun berbeda. Orang Jawa biasa mengusung benda berat di atas kepala, kalau orang Nepal digantungkan di kepala. Saya jadi teringat cara orang pedalaman Papua membawa tas yang talinya panjang, juga digantungkan di kepala.

Segala jenis barang bisa digantungkan di kepala, mulai dari karung beras, keranjang rotan, sampai lemari baju, dari rumput, kayu bakar, sampai televisi. Laki-laki, perempuan, anak-anak, semua punya kepala sekeras baja.

Jalanan datar, tak ada tantangan. Jujur saja, agak membosankan.

          “Moga-moga Sirkuit Annapurna tidak segampang ini,” kata saya yang masih sombong.
          “Tentu saja tidak,” balas Keith, “Ini belum apa-apa. Nanti di puncak sana kita akan melewati tempat setinggi lima ribu meter lebih.”

Jembatan gantung sempit tak sampai satu meter membentang menyeberangi aliran Sungai Marsyangdi yang deras. Jembatan ini nampak rapuh, berayun-ayun hebat waktu diseberangi. Cuma pejalan kaki dan sepeda yang bisa lewat sini. Sejak meninggalkan Dusun Bhulbule, mobil tak nampak sama sekali.

Dari pemandangan Desa Jawa, sekarang persawahan di kanan kiri mengingatkan saya akan terasering Pulau Bali. Bukit-bukit dibalut sawah hijau dari puncak hingga kakinya, berundak-undak laksana tangga dewa. Warnanya hijau menyejukkan, diselingi sebaran rumah kecil para petani.

Bocah-bocah berlari gembira. Tak ada beban hidup dalam kesederhanaan ini. Walaupun demikian, ada yang sudah berbakat pengemis, “One pen...one pen...” Ada yang nakal, nekad merogohkan tangan mungilnya langsung ke saku celana Keith.

Saya mulai menikmati perjalanan yang santai ini. Hanya sinar matahari yang garang membuat keringat bercucuran, rasa haus tak tertahankan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com