Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (51): Lereng Curam

Kompas.com - 13/10/2008, 07:52 WIB
[Tayang:  Senin - Jumat]


Perjalanan keliling Sirkuit Annapurna sebenarnya termasuk kategori tingkat kesulitan rendah. Walaupun demikian, bagi saya yang tidak biasa berjalan di medan pegunungan, perjalanan ini melelahkan juga.

Ada pepatah China mengatakan, “Naik gunung mudah, turun gunung susah”. Mungkin lebih tepat kalau pepatah itu dimodifikasi: Naik gunung susah, turunnya lebih susah lagi. Perjalanan ini dimulai dari Besisahar, pada ketinggian 700 meter, melalui jalan mendaki, terus menurun, terus mendaki lagi, menurun lagi, dan seterusnya hingga ke Puncak Thorung La pada ketinggian 5400 meter, kemudian menurun drastis lagi terus sampai ke bawah.

Demikianlah perjalanan hidup manusia. Ada naik, ada turun. Tujuan kita seakan tergambar jelas di awang-awang sana. Tetapi yang paling penting bukan tujuannya, melainkan lintasannya, naik turunnya, senang bahagia dan pahit getirnya hidup. Setiap trekker punya peta Annapurna, lengkap dengan hari pertama, kedua, ketiga, dan seterusnya, nama dusun-dusun yang akan dilewati, serta ketinggiannya dari permukaan laut. Angka-angka yang menjadi patokan perjalanan ini adalah motivasi untuk terus maju, mencapai tujuan.

Yang paling berbahaya dalam perjalanan ini adalah ketika kita terlalu menggebu untuk mencapai tujuan yang tinggi itu. Dari ketinggian 700 meter hingga 5400 meter, tubuh manusia harus bisa beradaptasi pada perubahan drastis. Di puncak sana, suhu udara rendah dan oksigen minim. Salju menghampar, membekukan. Sedangkan sekarang di Bahundanda, pagi baru saja bermula, tetapi panasnya sudah minta ampun. Tak semua orang bisa beradaptasi pada perubahan drastis ini. Setiap naik berapa ratus meter, seharusnya para pendaki beristirahat dulu untuk membiasakan tubuh pada ketinggian tertentu, baru boleh melanjutkan perjalanan lagi ke tempat yang lebih tinggi. Jika dipaksakan, ketinggian pun bisa berakibat fatal.

Saya ternganga melihat tangga curam dari tanah menuruni pinggang bukit di Bahundanda, pada ketinggian 1350 meter. Di kanan kiri, berteras-teras sawah hijau menyelimuti bukit seperti tangga surgawi. Yang ada cuma jalan turun, untuk kemudian mendaki lagi di bukit seberang, menuju dusun Ili Bir. Turunnya begitu drastis, melihat ke bawah pun rasanya ngeri dan bikin pusing.

Saya menurun setapak demi setapak. Kaki kanan menurun satu tangga, dilanjutkan kaki kiri di tangga yang sama. Paling takut terkilir di medan seperti ini. Sedangkan penduduk desa, dengan santai meluncur turun sambil berlari tanpa terpeleset sedikit pun di lereng curam ini.

Keledai, seperti dikisahkan dalam berbagai hikayat sebagai hewan bodoh dan keras kepala, kenyataannya memang demikian. Rombongan keledai membopong ransel bawaan grup turis kaya, melenggang santai di lereng curam ini, tanpa mempedulikan orang lain yang hampir terpeleset ke jurang. Mereka tak pernah mau minggir, tak bisa mengalah, dan hanya menjalani hidup di dunia mereka sendiri.

Dari arah berlawanan, datang sepasang trekker Belanda datang dari arah berlawanan. Mereka sudah sampai Manang, sekitar seminggu perjalanan dari sini, pada ketinggian ribuan meter. Di Manang, karena tubuh mereka tak bisa menyesuaikan dengan keadaan puncak gunung, mereka jatuh sakit. Penyakit ini disebut Acute Mountain Sickness, kalau parah, pembuluh darah bisa pecah bahkan sampai menyebabkan kematian.

Tetapi jalan kembali bahkan lebih susah daripada waktu berangkat. Lereng curam dan terjal yang waktu berangkat dituruni dengan susah payah, sekarang kebalikannya, harus dipanjat dengan lebih susah payah lagi.

          “Kalau sampai Manang, jangan menyerah,” kata gadis Belanda itu, “jangan sampai kembali seperti kami. Kalau kau lemah, ingatlah selalu bahwa perjalanan mundur tidak mudah. Ingatlah perjuangan kami yang harus mendaki bukit terjal Bahundanda ini!”

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com