Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (53): Dusun Tal

Kompas.com - 15/10/2008, 11:42 WIB
[Tayang:  Senin - Jumat]

Saya tertunduk di hadapan gerilyawan Maois. Semua kisah sedih sudah saya ceritakan. Moga-moga ia tergerak hatinya.

          “Kya karen, bhai? Apa lagi yang bisa saya lakukan, Saudara?”

Saya menunjukkan dompet saya yang kosong melompong. Hanya ada uang sepuluh Rupee di dalamnya. Sisanya sudah saya sembunyikan di dalam kaus kaki. Gerilyawan Maois itu hanya garuk-garuk kepala, mungkin pertama kali melihat turis yang begitu miskin.

Saya menunjukkan betapa dekatnya saya dengan perjuangan Maois, mencoba menarik simpatinya. Dimulai dari bualan tentang kehidupan komunis di Beijing dan betapa saya memuja Mao, sampai menunjukkan saya memakai baju warna merah dengan bintang emas – bendera Vietnam – yang saya beli dari Hanoi. Dia tak terlalu tertarik.

Tiba-tiba datang serombongan pendaki bule. Masing-masing membopong ransel mahal, membawa sepasang tongkat khusus trekking, yang pasti juga mahal, dan menggunakan jasa dua orang porter Nepal malang yang terbungkuk-bungkuk harus menggendong tumpukan ransel besar. Ditambah lagi seorang pemandu lokal.

           “Pajak Maois ya?” tanya si pendaki dengan ramah, senyum lebar menghias wajahnya.

Ia langsung mengeluarkan beberapa lembar ribuan Rupee, menyerahkan kepada sang gerilyawan. Sekarang giliran pengumpul pajak Maois itu yang sibuk menandatangani kuitansi. Semua orang harus membayar pajak 100 Rupee per hari. Untuk porter dan pemandu lokal gratis.

Hari ini ia panen besar. Kalau dengan turis bule yang kaya tak perlu ia berpusing-pusing menghadapi backpacker miskin yang kerjanya cuma menawar dan minta belas kasihan saja.

Setelah rombongan turis itu pergi, pejuang Maois itu kembali ke samping saya. Duduk. Ia bicara dengan nada seperti seorang kawan, dalam bahasa Nepali yang cepat yang saya tak mengerti. Saya hanya bisa menangkap kata rakyat, perjuangan, negara, dan keadilan. Ia bersimpati dengan saya, karena saya bisa berbicara bahasa Hindi, menganggap saya seperti saudara sendiri.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com