Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (63): Angkasa Raya

Kompas.com - 29/10/2008, 07:52 WIB
[Tayang:  Senin - Jumat]

Babak belur saya sampai di Jomsom, diterpa angin ribut dan badai pasir. Kaki saya sudah tak kuat lagi rasanya. Rambut jadi gimbal seperti Bob Marley di Muktinath. Selapis debu bercampur keringat membungkus tubuh.

Ini adalah akhir perjalanan saya di Annapurna. Memang saya belum berhasil mengitari seluruh Sirkuit Annapurna, tetapi saya sudah bulat memutuskan untuk kembali ke Kathmandu esok hari dengan pesawat gunung dari Jomsom menuju Pokhara.

Kekhawatiran terutama saya adalah visa India. Tiga minggu lalu saya sudah menyodorkan pengajuan visa ke Kedutaan India, diminta untuk mengambil visa seminggu sesudahnya. Karena sedang berada di Annapurna, sekarang saya sudah terlambat satu minggu untuk pengambilan visa.  

Masalah visa ini sempat menghantui tidur saya di Muktinath. Saya merengek-rengek di depan petugas visa yang kejam, yang hanya bisa memberi saya visa satu bulan. Saya terjepit di Nepal, negeri mungil yang dipepet satu raksasa besar di utara dan satunya lagi di selatan.

Mimpi buruk itu membuat saya memutuskan untuk kembali ke Kathmandu secepatnya. Saya adalah orang yang percaya firasat. Mimpi bisa jadi pertanda alam yang menuntun takdir.

Di pegunungan Himalaya ini, banyak penerbangan swasta yang namanya membawa-bawa misteri atap dunia. Sebut saja Yeti Airlines, yang moga-moga pilotnya bukan makhluk berbulu. Ada pula Budha Air, cocok sekali untuk daerah pegunungan yang dipenuhi kuil, pagoda, dan bendera doa. Saya memilih Shangrila-Air yang konon jadwal keberangkatan lebih terjamin daripada Royal Nepal Airlines.

Memesan tiket dari Jomsom tak sulit, asal kita punya uang. Tiket untuk orang asing 64 dolar, sedangkan warga negara India dan Nepal cukup membayar 1500 Rupee saja, sekitar 22 dolar. Karena membayar mahal, orang asing dipastikan berangkat, sedangkan penduduk lokal dimasukkan waiting list, baru terbang kalau ada tempat tersisa. Biasanya yang memborong penerbangan ini adalah para turis. Di musim peak season, penduduk setempat harus menunggu berminggu-minggu karena waiting list. Tak jarang, jalan kaki enam hari malah lebih cepat daripada menunggu pesawat yang cuma 40 menit itu.

Saya melongok dompet saya setelah mendapat tiket. Tak banyak jumlahnya. Hanya sekitar 30 dolar saja yang tersisa, dan dengan uang ini saya harus sampai India.

Seperti saya yang dilanda kecemasan, Dipak, porter yang duduk di hadapan saya ini pun menceritakan betapa ingin ia meninggalkan Nepal.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com