Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (69): Paharganj

Kompas.com - 06/11/2008, 06:20 WIB
[Tayang:  Senin - Jumat]

Saya teringat secuplik tulisan fiksi karya Salman Rushdie berjudul Midnight Children yang mengisahkan pemecahan Pakistan dan India. Ada satu episode yang mengisahkan tentang orang yang terbiasa dengan ‘mata kota’, hidup dalam kota besar bergelimang harta, tak melihat lagi kemelaratan dan penderitaan rakyat papa di pelupuk mata. Pemilik ‘mata kota’ tak lagi melihat penderita kusta yang terkapar atau penderita kanker yang harus berjalan di atas bola. Tulisan itu membuat saya tersindir, mampukah saya melihat India dari kaca mata yang lebih tepat?

Kalau Jakarta punya Jalan Jaksa, maka New Delhi juga punya Paharganj, pusatnya turis kere mancanegara. Di sinilah saya menginap, di sebuah losmen murah di dalam gang kecil, di dekat pasar yang hiruk pikuk oleh pedagang baju murah, sapi, klakson rickshaw, bau pesing orang kencing sembarangan, para pekerja dari Nepal, sampai ke sedapnya masakan China, segarnya teh susu di pagi hari, dan renyahnya masala dosa untuk sarapan pagi.

Losmen tempat saya tinggal, Hotel Bajrang, cuma 100 Rupee per malam. Kamar yang saya dapatkan dindingnya tipis sekali. Kalau pagi saya terbangun karena ributnya suara orang yang menggaruk-garuk tenggorokan, mengeluarkan dahak yang tersangkut, kemudian meludahkannya bertubi-tubi. Kalau malam saya tak bisa tidur karena berisiknya sepasang kekasih yang memadu kasih sampai jam 3 pagi.

Paharganj letaknya berseberangan dengan stasiun kereta api New Delhi, termasuk salah satu tempat paling kumuh yang pernah saya tinggali. Selain tembok yang bau pesing, jalanan juga penuh oleh sampah. Pedagang makanan di mana-mana, mulai dari gerobak kentang goreng, kios manisan jelebi, sampai bocah kecil yang menjual makanan berminyak di sudut jaran. Daun bekas bungkus, kertas, plastik, semua bertebaran di jalan.

Di tempat sekotor ini, orang masih bisa tidur di jalan, dalam artian yang paling harafiah. Tuna wisma tak perlu alas karton atau bantal plastik, mereka cukup membaringkan diri di atas trotoar yang kotor, memejamkan mata, dan tidur. Di sebelahnya bisa ditaruh baskom kecil, untuk menerima recehan dari pelintas jalan yang bermurah hati.

Terlepas dari kemelaratan dan kekumuhan, kehidupan di Paharganj mengalir dinamis. Apa lagi kalau bukan karena toko-toko yang berderet semrawut yang membuat aktivitas ekonomi menggeliat, termasuk mendatangkan para peminta-minta, anak jalanan, sopir kendaraan, dan ribuan pembeli?

‘Mata kota’ saya masih belum terbiasa melihat kehidupan masyarakat kelas bawah India ini. Suatu hari saya begitu terkejut diperlakukan dengan kasar oleh seorang pedagang pakaian murah di Paharganj.

Saya berniat membeli celana panjang. Tetapi semua celananya kepanjangan, saya minta tolong kepada bocah penjaga toko itu untuk sekalian dipotongkan supaya pas dengan tubuh saya.

Belum selesai saya bicara, pemuda kurus itu langsung memotong. “OK! You speak over! My turn!” Dengan bahasa Inggris berantakan dan kepala yang bergoyang-goyang serong ke kanan ke kiri, ia bilang kalau urusan potong-memotong itu bukan urusan dia, saya hanya cukup membeli, membayar, dan pulang.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com