Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (78): Dunia Memang Kecil

Kompas.com - 19/11/2008, 08:07 WIB
[Tayang:  Senin - Jumat]

Saya sebenarnya kurang begitu tertarik dengan kegiatan mengunjungi museum, benteng, monumen, atau sebangsanya. Bagi saya tempat-tempat itu adalah masa lalu yang sudah mati. Hanya gedung tua yang dikerebuti turis mancanegara yang berpose di depan kamera.

Sebenarnya saya masih mencari-cari kembali semangat perjalanan ini yang sempat hilang setelah rentetan pengalaman kurang menyenangkan di New Delhi. Saya hanya ingin bersantai di Rajasthan, tetapi menghabiskan waktu tanpa kegiatan di dalam bilik losmen yang gelap dan kotor bakalan akan lebih membunuh semangat perjalanan yang sudah tinggal secuil.

Untuk mengisi hari, Lam Li mengajak saya pergi ke Benteng Amber, sekitar sebelas kilometer jauhnya dari pusat kota Jaipur. Walaupun sebenarnya malas, saya akhirnya mengiyakan ajakannya.

          “Kalau aku suka sekali melihat benteng.,” kata Lam Li, “Justru benteng-benteng kuno India lah yang membuat aku tertarik datang ke sini.” Benteng-benteng kuno itu adalah masa lalu Hindustan yang penuh histori dan fantasi.

Apa yang dikatakan Lam Li memang benar. Baru pertama kali ini saya melihat sebuah bangunan benteng yang penuh fantasi. Benteng Amber dibangun pada abad ke-16. Terletak di puncak sebuah bukit. Pengunjung harus berjalan mendaki setidaknya dua puluh menit untuk mencapainya.

Di bawah bukit ada sebuah danau. Airnya memantulkan refleksi kemegahan benteng Amber. Dari bawah, benteng itu nampak bersinar kuning keemasan memanjang menampilkan sudut-sudut yang penuh ornamen.

Benteng Amber sejatinya bukan hanya benteng, tetapi juga istana. Karena itulah ukurannya begitu besar dan megah. Tetapi tetap saja, walaupun bangunan ini memesona, di mata saya tetap saja bangunan mati yang dikerubungi turis. Belum lagi kalau mengingat harga tiket masuknya yang mahal.

           “Andaikan ini Tibet,” kata Lam Li, “pasti sudah kupanjat dan kulompati tembok-temboknya.”

Walaupun perempuan, Lam Li jauh lebih jago dalam urusan lompat-melompat tembok. Waktu di Tibet dulu, ia mencukur botak rambutnya untuk menyamar sebagai bikuni, hanya untuk bisa gratis masuk kuil-kuil Lama yang mahal sekali tiketnya. Selain itu, ia punya kebiasaan sebelum masuk selalu mengelilingi tembok luar kuil, mencari dinding rendah atau celah yang bisa dilompati. Saya dulu sempat berbangga beberapa kali masuk gratis dengan lompat-lompat tembok. Ternyata Lam Li jauh lebih hebat, ia berhasil masuk hampir semua kuil di Tibet timur sampai perbatasan Nepal, dan semuanya berkat keahlian lompat temboknya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com