Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (80): Kota Suci

Kompas.com - 21/11/2008, 07:28 WIB
[Tayang:  Senin - Jumat]


Hare Krishna Hare Krishna, Krishna Krishna Hare Hare,
Hare Rama Hare Rama, Rama Rama Hare Hare

Kabut masih menyelimuti pagi yang dingin di Pushkar. Pukul enam tepat, hari baru di kota danau suci ini dimulai dengan bacaan mantra enam belas kata Hare Krishna. Enam belas kata, diikuti enam belas kata berikutnya, diikuti enam belas lagi, berulang-ulang, dari pagi hingga tengah hari. Ribut sekali, dinyalakan dari kaset yang sudah hampir rusak pitanya.

Kenapa pukul enam? Tepat jam enam pagi Undang-undang Polusi Suara tak berlaku lagi. Isi Undang-undang ini adalah segala jenis kebisingan dilarang mulai dari jam 10 malam sampai 6 pagi. Kebisingan ini meliputi drum, terompet, pengeras suara, klakson mobil dan sepeda motor, dan lain sebagainya. Larangan ini juga berlaku bagi semua tempat ibadah. Begitu jarum jam menunjuk pukul enam, kedamaian dan ketentraman pun seketika menguap bersama terbitnya mentari. Kuil-kuil berlomba dengan loudspeaker mereka, melantunkan mantra suci dari pagi sampai malam.

Maha-mantra Hare Krishna seharusnya punya kekuatan dahsyat, menyucikan diri dan membawa pencerahan, diucapkan dari hati yang paling dalam dengan suara bergetar. Tetapi sekarang orang tak perlu repot membaca dari pagi sampai malam, cukup menyalakan kaset tua dengan pengeras suara berkualitas buruk, dibunyikan keras-keras sepanjang hari.

Belum lagi kuil-kuil tetangganya yang juga melantunkan mantra, juga menerjang dengan loudspeaker. Menjelang siang, bunyinya campur aduk sampai kita tak lagi mengenal mantra apa yang sedang dibaca.

Di bawah kebisingan pagi hari, saya dan Lam Li menikmati milchi-bara, cabe goreng tepung disiram kuah kari. Pushkar adalah kota suci, kota kaum Brahmana yang vegetarian. Daging dilarang di sini. Sebenarnya selama beberapa hari ini di India, saya merasakan betapa kuatnya kultur vegetarianisme di sini. Mencari restoran yang menjual daging sangat jarang. Saya tak pernah melihat toko jagal yang memajang daging hewan di pinggir jalan. Tetapi, Pushkar masih lebih ketat lagi. Bahkan telur pun tak boleh.
 
Walaupun di kota ini banyak anjing berkeliaran, semua anjing ini juga ikut bervegetarian. Karena aturan vegetarian yang sangat ketat, makanan yang dijual di pinggir jalan kebanyakan hanya goreng-gorengan. Milchi bara termasuk yang paling murah, pedasnya membuat kenyang, seporsi sudah bikin tak ingin makan yang lain, cocok untuk kantong kami yang tipis.

Kalau sudah bosan dengan cabe pedas yang nilai gizinya mendekati nihil, kami mencicip pakora – gorengan tepung berisi sayuran, atau samosa – jenis gorengan yang lain lagi. Kalau ingin coba yang beda sedikit sekaligus mensuplai kebutuhan karbohidrat dan lemak, kami membeli manisan jelebi – lingkaran gula-gula yang terperangkap dalam selubung minyak, begitu menempel di bibir gulanya langsung mencair dan minyaknya menetes. Bukan makanan sehat tentunya.

Satu hal yang saya kagumi, pedagang kaki lima maupun pemilik toko di pinggir jalan tidak sembarangan membungkus dengan tas kresek. Sampah plastik di negeri berpenduduk satu milyar lebih adalah masalah lingkungan yang menjadi perhatian utama. Jelebi, samosa, pakora, atau pun milchi bara diwadahi daun atau kertas. Sungguh ramah lingkungan.

Memang tak banyak pilihan makanan murah di sini selain gorengan dan manisan. Kalau ingin merogoh kocek lebih dalam lagi, sebenarnya masih ada burger, thali, dan minuman lassi dari susu yang dicampur irisan buah-buahan, es batu, atau bahkan – dengan permintaan khusus – bisa dicampur pula dengan bhang dari daun ganja.

Sambil menyeruput lassi, kami duduk di pinggir danau suci Pushkar,  mengamati ritual yang tanpa henti di danau biru yang menjadi tujuan ziarah umat Hindu. Danau suci ini adalah tempat pemujaan Dewa Brahma. Alkisah, Brahma mencari tempat untuk melaksanakan pemujaan yagna.. Dalam perjalanannya, sekuntum teratai jatuh ke muka bumi dan mendarat di Pushkar, menjadikan kota ini tempat suci. Adalah Gayatri, gadis yang kemudian dinikahi Brahma sebagai syarat pelengkap ritual yagna, yang kemudian membuat marah istri sah Brahma – Savitri. Savitri kemudian mengutuk Brahma bahwa ia tak akan lagi dipuja orang selain di Pushkar.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com