Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 21/11/2008, 11:03 WIB

Ternyata, Barack Obama paling suka film djadoel berjudul “Casablanca”. Film ini dibuat tahun 1950-an, dibintangi oleh Ingrid Bergman dan Humphrey Bogart. Sebelum “Cafe Batavia” di Taman Fatahillah, Jakarta Pusat, tutup, tempat itulah yang selalu membuat saya bagai terlontar kembali melintasi lorong waktu. Di “Cafe Batavia”, seolah-olah tiap saat bakal muncul Humphrey Bogart – dengan setelan jas putih dan topi fedora-nya – dari balik tirai dengan senyumnya yang menggoyahkan lutut nyonya-nyonya cantik.

Seperti juga beberapa film Hollywood di masa itu, banyak sekali film yang tidak dibuat di lokasi sebenarnya. Film “Casablanca” tidak dibuat di Maroko, melainkan di studio di Hollywood – salah satu distrik Los Angeles. Hotel Del Coronado di San Diego sering pula dipakai sebagai lokasi untuk film yang diceritakan terjadi di Meksiko. Maklum, di masa itu industri film masih belum sebesar saat ini.

Kenyataan bahwa Casablanca, sebuah kota pantai di Maroko, dijadikan judul film pada waktu itu tentulah mengindikasikan bahwa Casablanca adalah sebuah kota yang romantis.

Tetapi, bila Anda datang ke Casablanca dengan harapan akan menemui kota seperti Paris, mungkin Anda akan langsung kecewa. Bandaranya terkesan kecil dan tua. Semua taksi yang menunggu memang bermerk Mercedes Benz, tetapi keluaran 30 tahun yang lalu. Dengan taksi-taksi usang itulah kita memasuki Casablanca yang pada pandangan pertama pun mengesankan sebuah kota tua yang lusuh dan kurang terawat.

Jangan cepat kecewa! Sesungguhnyalah Casablanca menyimpan banyak rahasia atau hidden treasures yang bila diselami akan membuat Anda jatuh hati.

Berabad-abad sebelumnya, Casablanca memang hanya sebuah desa di tepi laut, di ujung Barat Laut Afrika. Desa Anfa ini kemudian menjadi ibukota bangsa Berber menyusul serangan Arab pada abad ke-7. Hampir seribu tahun kemudian, bangsa Portugis mendarat di kota pelabuhan ini dan mendirikan benteng serta asrama yang temboknya bercat putih. Bangunan putih di tepi laut ini kemudian disebut Casa Branca atau rumah putih dalam bahasa Portugis. Pada abad ke-19, ketika bangsa Andalusia dari Spanyol menguasai kawasan ini, nama Casa Branca berubah menjadi Casa Blanca yang dalam bahasa Spanyol juga berarti sama. Dalam bahasa Arab, Casa Blanca artinya adalah Dar al Baida.

Maroko menjadi protektorat atau kawasan perlindungan Prancis selama 44 tahun, antara 1912-1956. Di masa itu Prancis membangun banyak gedung-gedung modern sebagai kantor-kantor pemerintahan maupun sebagai sarana sosial warga kota. Karena pada masa itu gagrak arsitektur art deco sedang menjadi mode, maka kebanyakan gedung yang dibangun pada masa itu bercorak art deco. Ini pula yang membuat Casablanca berbeda dengan Marrakech yang bangunan-bangunannya bercorak lokal – mirip arsitektur Mediterania, bahkan sangat mirip pula dengan arsitektur Santa Fe.

Hingga sekarang, bangunan-bangunan art deco masih terawat rapi dan tampak di berbagai sudut kota Casablanca. Mudah-mudahan gelombang modernisasi berikutnya tidak akan menghapus bangunan-bangunan pusaka ini dari sejarah Casablanca. Kenyataannya, justru bangunan-bangunan tua berarsitektur art deco inilah yang hingga sekarang menjadi tulang punggung pariwisata Casablanca.

Selain gaya art deco, suasana Prancis juga masih kental terasa di berbagai penampilan Casablanca. Pasarnya saja masih bernama Prancis, yaitu Marche Centrale. Sebuah pasar tradisional beratap yang hingga kini masih merupakan tempat belanja yang disukai masyarakat Casablanca. Padahal, hanya satu blok dari pasar ini juga terdapat sebuah pasar swalayan modern bernama Acima. Kedua pasar ini dapat eksis secara berdampingan tanpa yang satu mematikan yang lain. Kesan saya sangat positif tentang Marche Centrale ini. Para pedagang yang saya jumpai di sana rata-rata ramah dan bersedia menjawab pertanyaan sekalipun saya tidak berbelanja.

Dalam tulisan sebelumnya, saya sudah menggambarkan budaya laitiere (warung susu) di Maroko yang juga meniru tradisi Prancis. Sekalipun disebut laitiere yang pasti menyediakan kopi susu, warung-warung ini juga selalu menyajikan jus buah segar dan atei benna’na’ alias teh mint yang memang khas Maroko. Orang-orang Maroko paling suka nongkrong di laitiere sambil kongko-kongko.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com