Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (88): Paniwala

Kompas.com - 03/12/2008, 09:11 WIB
[Tayang:  Senin - Jumat]

           “Hari Om, Ashok, Hari Om, Lilavati” kakek Mamohan menyapa. Jenggot putih menghiasi wajah tuanya. Kami berdua masuk ke padepokannya yang sederhana di pertigaan jalan, di bawah rindangnya pohon besar.

          “Hari Om.... Ramram...” saya membalas sapanya.

Kemarin Kakek Mamohan memberi nama Hindu bagi kami berdua. Ashok buat saya dan Lilavati buat Lam Li. Ashok, atau dalam bahasa Indonesia disebut Ashoka, adalah nama raja besar India dari Dinasti Maurya, berkuasa abad kedua Sebelum Masehi. Roda Chakra dan Singa Ashoka dijadikan lambang negara dan bendera Republik India modern.

           “Ashok, benar-benar nama yang indah,” saya berterima kasih padanya.

Kendi demi kendi air berjajar rapi di halaman. Kakek Mamohan sendiri yang mengisi kendi air itu. Air jernih dan menyegarkan tersedia bagi siapa pun yang melintas.

           “Kakek Mamohan, berapakah yang harus dibayar orang yang minum air ini?” saya bertanya.
           “Kuch nehi. Tidak sama sekali. Air ini tersedia cuma-cuma,” ia menjawab dengan perlahan, tenang, elegan.

Air ini adalah perlambang cinta dan pengabdian. Kakek Mamohan adalah seorang paniwalla. Pani artinya air, dan walla adalah akhiran bahasa Hindi untuk menyebut orang. Tukang air biasanya duduk dengan tenang di sudut jalan Rajasthan dengan kendi di tangan mereka. Air mengucur dari leher kendi siap diguyurkan ke tenggorokan rakyat yang kering. Mereka tidak menarik bayaran sedikit pun untuk pekerjaan ini, walaupun terkadang orang yang meminum memberikan sedekah seadanya.

Kakek Mamohan mengajak kami masuk ke dalam padepokan sederhananya. Lebarnya tak lebih dari satu meter. Kami harus berdesak-desakan di ruang sempit ini.. Dindingnya berwarna putih, bergambar hiasan-hiasan Hinduisme, seperti chakra, tulisan ‘Om’, dan swastika. Di sudut ada altar mungil dengan beberapa gambar Syiwa, dewa pemusnah bertangan banyak.

Di leher Kakek Mamohan tergantung untaian kalung biji rudraksha. Rudraksha, artinya ‘air mata Syiwa’, adalah biji pohon Elaeocarpus granitrus. Dalam tradisi Hindu, Rudraksha bukan biji pohon biasa, tetapi azimat pengusir bala. Saya ingat sepasang pengelana Rusia yang telah terinisasi di India dan menjadi pertapa super aneh di Freak Street di Kathmandu yang menunjukkan koleksi rudraksha-nya. Ada yang bersudut enam, ada yang delapan. Tiap jumlah sudut yang berbeda, berbeda pula artinya. Waktu itu saya tidak begitu paham mengapa orang Rusia ajaib ini begitu keranjingan mengoleksi berbagai biji pohon yang di mata saya tak berarti sama sekali. Tetapi melihat untaian Rudraksha di leher Kakek Mamohan di padepokannya yang sepi ini, saya menemukan tempat yang tepat bagi bulir-bulir biji suci itu.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com