Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (102): Mimpi di Air Keruh

Kompas.com - 24/12/2008, 06:17 WIB
[Tayang:  Senin - Jumat]

Di antara beragam suratan nasib yang diterima umat dari berbagai kasta, ada jutaan yang ditakdirkan menjadi dhobi, tukang cuci. Di kota Mumbai, para dhobi tenggelam dalam perkampungan kumuh yang terbentang menggurita tersembunyi bisnis binatuan terbesar di Asia.

Sebut saja Vinoj. Pria berusia tiga puluhan tahun ini berasal dari propinsi Bihar, dua ribu kilometer jauhnya dari sini. Sepuluh tahun lalu, Vinoj datang ke Mumbai membawa sebongkah mimpi—hidup makmur bergelimang harta, bangkit dari kenistaan kemiskinan di kampungnya. Ini adalah mimpi yang sama dengan puluhan juta manusia lainnya yang menghuni kawasan miskin di kota metropolis ini.

Tetapi kota ini sudah terlalu penuh sesak oleh orang-orang penuh mimpi seperti Vinoj. Kota ini kejam, rodanya menggilas mereka-mereka yang hanya datang dengan mimpi. Sudah belasan juta mulut yang mengais rezeki di sini. Tak semua orang seberuntung artis Bollywood. Nasib Vinoj, istri, dan kedua anaknya berakhir di dhobi ghat, di antara ruas-ruas batu, air keruh, dan ratusan ribu helai kain.

Ghat, dalam bahasa Sansekerta, berarti anjungan di pinggir sungai, biasanya untuk membasuh tubuh. Di tepian sungai Gangga atau di tepi danau suci Pushkar tersedia undak-undakan tempat umat Hindu melakukan mandi suci. Dhobi ghat adalah ghat untuk para dhobi—tukang cuci. Bentuknya adalah seruas kamar terbuka dari batu, berukuran satu kali dua meter. Lantainya selalu basah oleh air. Di bagian tengahnya ada anjungan dari batu setinggi lutut.

Di bawah jembatan layang Mahalakshmi, barisan ratusan ruas dhobi ghat terbentang sejauh mata memandang. Di sinilah, Vinoj dan ribuan rekan sejawatnya mencari penghidupan. Pusat binatuan Mahalakhsmi adalah bisnis laundry terbesar di Asia. Sekitar setengah juta helai pakaian dicuci oleh sekitar 730 ruas dhobi ghat. Tiap ghat bisa menyelesaikan seribu pakaian per hari.

Menjadi dhobi bukan pekerjaan yang mudah. Cuci-mencuci di sini tidak menggunakan mesin. Pakaian kotor dicampur sabun, dihantamkan berkali-kali ke dinding batu yang membatasi ghat, diayunkan ke udara, dihantamkan lagi. Bulir-bulir air terciprat membentuk busur di angkasa, terbang bersama debu dan kotoran. Pakaian direndam lagi ke dalam air, diayunkan ke udara, dipukulkan dengan penuh tenaga ke tembok batu. Sampai belasan kali. Anda bayangkan bagaimana rasanya melakukan pekerjaan ini berulang-ulang sampai seribu kali dalam sehari, setiap hari, setiap minggu, sepanjang tahun?

          “Menjadi tukang cuci memang bukan pekerjaan seumur hidup,” kata Vinoj, “ada waktunya ketika tubuh sudah lemah dan uzur, kita harus mencari penghidupan lain.”

Tukang cuci bernasib sama dengan penarik rickshaw, buruh bangunan, pembersih saluran air, dan ratusan pekerjaan kaum papa India yang demikian menguras tenaga. Ketika tua banyak di antara mereka yang livernya rusak karena pembudakan badan yang berlebihan.

Namun, hidup mereka terus berkubang dalam kumuh dan keruh. Seperti inikah mimpi yang menghiasi tidur mereka yang datang dari tempat ribuan kilometer jauhnya ini?

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com