Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (110): Chalo, Pakistan

Kompas.com - 05/01/2009, 07:22 WIB
[Tayang:  Senin - Jumat]

Pakistan di hadapan mata. Perasaan berdosa menyelimuti diri saya. Mengapa saya masih belum juga melintas gerbang perbatasan itu?

Enam minggu yang lalu, saya bersorak gembira ketika visa Pakistan tertempel di paspor saya. Orang-orang Kashmir menyemangati saya, dan ikut merayakan kemenangan perjuangan visa saya. Tawa itu, air mata kebahagiaan itu, tak akan pernah saya lupakan.

Tetapi, bukannya cepat-cepat berangkat ke Pakistan, saya masih menyempatkan bermain ke Rajasthan, dengan justifikasi untuk menenangkan diri setelah frustrasi berhari-hari di New Delhi. Banyak pengalaman menarik yang saya alami, membuat saya semakin betah di India, semakin melupakan Pakistan. Hingga pada akhirnya datang penyakit ini – kuning merambah mata dan tubuh, lemas melambatkan langkah, rasa mual mengeringkan perut. Mungkin peringatan dari Tuhan, mungkin pula hukuman karena saya melupakan komitmen sendiri.

Saya berdiri di depan pintu perbatasan, tertunduk lesu. Sementara di sekeliling saya suasana gegap gempita menggelorakan jiwa nasionalisme India.

         “Bharat mata ji, jay! Bunda India, jayalah!” ribuan orang India bersorak sorai di depan perbatasan Pakistan. Genderang bertalu-talu. Gemuruh siswa sekolah serempak melantunkan    Hindustan Zindabad! Hindustan Zindabad! Hidup India! Hidup Hindustan!”

Perbatasan India dan Pakistan terletak tepat di antara kota Amritsar dengan Lahore. Dulu, sebelum India dan Pakistan dibelah, Amritsar dan Lahore adalah dua kota penting negara bagian Punjab. Setiap harinya, jutaan orang melintas. Hindu, Sikh, Muslim, tak ada bedanya. Kemudian berdirilah Pakistan, atas seruan Muhammad Ali Jinnah – Bapa Pendiri Pakistan, yang berkata, “Hindu dan Muslim adalah dua agama, filsafat, kebiasaan sosial, dan kesusastraan yang berbeda. Mencampurkan keduanya dalam negara yang sama, yang satu menjadi minoritas dan satunya mayoritas, akan membawa pertentangan dan kehancuran.”

Tanggal 15 Agustus 1947, lahirlah Pakistan ke muka bumi. Negeri yang dirayakan penuh sorak sorai sebagai kemenangan Muslim di British India. Pakistan merdeka sebelum batas negaranya jelas. Propinsi di barat sana, seperti Baluchistan dan Sindh yang mayoritas Muslim, sudah pasti masuk Pakistan. Tetapi Punjab dan Benggala, Muslim dan Hindu separuh-separuh. Belum lagi Kashmir yang mayoritas Muslim tetapi dipimpin oleh maharaja Hindu. Semua ini menjadi benih pertumpahan darah dalam sejarah singkat Pakistan.

Sir Cyril Radcliffe dari pemerintahan kolonial Inggris yang menentukan takdir kedua negara ini. Punjab dan Benggala diiris dengan Garis Radcliffe. Punjab Barat dan Benggala Timur masuk Pakistan, sisanya masuk India. Tetapi tidak ada garis yang tepat membelah umat Muslim dan Hindu. Di sisi Pakistan ada puluhan juta Hindu, dan di sisi Hindustan ada ratusan juta Muslim.

Yang terjadi setelah itu adalah perpindahan manusia terbesar dalam sejarah dunia. Umat Muslim yang memimpikan tanah suci berbondong-bondong ke arah Pakistan. Umat Hindu dan Sikh yang tak ingin menjadi minoritas di negara Muslim merayap ke arah Hindustan. Lebih dari 14 juta manusia berpindah untuk mencapai tanah impian. Ada yang berjalan kaki, naik kereta kuda dan keledai, bus, kereta api. Yang sudah tua tak kuat jalan digendong atau diusung tandu oleh anaknya.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com