Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (123): Tanpa Cahaya Mentari

Kompas.com - 22/01/2009, 08:25 WIB
[Tayang:  Senin - Jumat]

Chapursan tersembunyi dan terlupakan. Tak ada yang bisa diharapkan karena yang ada hanya tiga hal: amukan angin, hujan batu, dan kegelapan. Dingin menembus tulang, tetapi kehangatan rumah-rumahnya selalu terpahat di ingatan saya.

Mulanya saya hanya tahu nama Chapursan. Ternyata ada puluhan desa di lembah ini. Buta arah, saya mengikut saja ke mana Majid membawa. Angin menderu tanpa ampun, menebarkan dingin yang menggigilkan seluruh tubuh. Rumah-rumah tampak seragam, kotak-kotak dari tanah liat. Warnanya sama persis dengan warna bumi, rumput kering, pohon gundul, gunung yang kehilangan karpet hijaunya. Dunia di lembah ini hanya diliputi satu warna: kemeranaan hidup tanpa sinar matahari. Tapi tawa Majid yang meledak-ledak menghalau segala perasaan merana yang menerpa saya.

          “Inilah tempat di mana sinar matahari tak muncul selama dua bulan lebih di musim dingin,” kata Majid bangga menunjukkan sebuah desa yang nampak tak berpenghuni. Rumput-rumput liar dan kering menutupi jalan setapak. Rumah-rumah berpencaran. Kelabu. Gersang.

Desa ini hanya satu kilometer jauhnya dari desa Khel, tempat Majid tinggal. Letaknya di dasar lembah. Di sebelah kiri, tebing gunung menjulang bak dinding yang menggapai angkasa. Di sebelah kanan, gunung lain yang sama angkuhnya mendongak. Matahari musim dingin yang berputar rendah di selatan tak mampu menembus rumah-rumah di lembah ini, terhalang oleh tembok batu raksasa.

Tak terjangkau sinar mentari, desa ini hanya hidup di bawah bayang gelap dan dingin gunung-gunung tinggi. Bukannya sinar matahari yang datang di sini, tetapi longsoran batu besar dari puncak gunung yang bisa meluncur setiap saat.

          “Kamu lihat sekolah itu?” katanya menunjuk sebuah bangunan sekolah yang lebih mirip rumah hantu.
          “Dulu sekolah ini ramai muridnya, tetapi sekarang pindah ke gedung baru dekat desa Khel.”

Alasannya bukan karena tempat ini terlalu dingin tanpa sinar matahari, tetapi lebih karena longsoran batu gunung yang menghujam tanpa ampun.

Dalam udara dingin begini, sungai pun membeku. Kakek dan nenek tua mengumpulkan kayu bakar dan ranting kering dari alam liar, untuk penghangat di rumah lempung mereka.

Walaupun alamnya tak terlalu bersahabat, penduduk Chapursan tidak luntur kehangatannya menyambut tamu yang datang. Di desa Rasyid, bocah-bocah berteriak senang. Ada yang malu-malu mengintip dari balik rumah. Semua berjaket tebal, bertopi hangat. Beberapa harus puas dengan sarung tangan bolong. Domba Chapursan lebih beruntung, mereka dikaruniai bulu tebal, menjuntai panjang sampai menyentuh tanah.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com