Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (126): India di Hati

Kompas.com - 27/01/2009, 07:01 WIB
[Tayang:  Senin - Jumat]


India adalah musuh bebuyutan Pakistan. Jutaan dolar dihabiskan Pakistan untuk membangun pertahanan kuat menghadapi negeri tetangganya yang raksasa itu. Tetapi saya masih merasakan jiwa India hidup di sini.

Karimabad mungkin adalah sebuah dusun kecil yang terlupakan dalam peta dunia. Kehidupan tenang tanpa gelora mengalir lambat di lereng pegunungan yang hening dan sejuk ini. Salju yang sejak kemarin mengguyur Karakoram menjadikan tempat ini terbungkus putih yang sempurna.

Di tengah kesepian itu, menyeruak lagu Bollywood dari televisi kabel. Salman Khan beradu dengan Akshay Kumar di tepi pantai, menarik-narik lengan Priyanka Chopra seperti lomba tarik tambang. Mereka berdendang riang, Mujhse Shaadi Karogi..., Menikahlah Denganku.... Sejurus berikutnya, gambar berganti dengan panggung gegap gempita. Emran Hashmi, sang superstar Bombay yang selalu tampil dalam film-film seksi, menjadi bintang lagu Aashiq Banaya Aap Ne, Kau Jadikan Aku Kekasih, soundtrack dari film berjudul sama. Ketika saya di Rajasthan beberapa bulan lalu, semua orang memutar lagu ini. Dari radio, televisi, sampai ke pedagang kaki lima di pinggir jalan semua memutar Aashiq Banaya berulang-ulang. Selang berapa bulan, di Pakistan lagu ini juga meledak.

Kakek Haider dan kawan-kawannya, sekelompok lelaki tua berjenggot, datang ke pondok. Begitu listrik datang, mereka bersorak. Televisi langsung menyala. Apalagi kalau bukan serial opera sabun India, Vuh Ranehwali Mehlon Ki, Dialah Perempuan Penghuni Istana? Saya sempat mengikuti beberapa episode. Ceritanya klise, mimpi ala Sinderela, seorang gadis miskin yang cantik yang jatuh cinta pada pria tampan dari keluarga kaya raya. Nama bintang utamanya juga tak kalah klise. Sang pria tampan bernama Raj, artinya ‘raja’, dan si gadis miskin bernama Rani, artinya ‘ratu’. Acara ini, mengingatkan pada acara televisi di Indonesia yang penuh dengan musik latar yang mengganggu, zooming lensa dekat jauh dekat jauh yang membuat pusing, dan alur cerita yang selalu itu-itu saja.

Tetapi jangan berdebat dengan Kakek Haider atau tukang masak si Hussain atau adiknya si Aslam yang cinta mati dengan serial ini. Sebagai penggemar fanatik, mereka tidak suka mendengar pendapat saya yang miring-miring. Apakah mereka begitu menjiwai sebuah mimpi, tentang perjuangan seorang gadis demi cinta pada seorang pria pujaan hati? Di negeri macam Pakistan dan India, di mana perkawinan adalah buah tangan perjodohan keluarga, cinta sepasang kekasih hingga melenggang ke mahligai rumah tangga memang hanya mimpi bagi kebanyakan orang.

Serial India ini juga menyajikan hiburan pencuci mata. Kapan lagi mereka bisa melihat gadis cantik yang bersanding dengan pria tampan kalau bukan di televisi? Pemandangan ini tak ada di jalanan desa Karimabad yang mungil, di mana hubungan antar jenis manusia dibatasi sekat yang tak terlihat.

          “Hindutan ki larkion ke bara dudh hai... Gadis Hindustan punya [maaf] payudara yang aduhai...,” si koki Hussain berbisik sambil berkedip-kedip nakal.

Bagaimanakah kebencian mereka dengan negeri tetangga.

          “Kami benci India, tetapi sayang gadis-gadis dan filmnya,” Hussain menandaskan.

Saya melihat persewaan DVD dan VCD penuh dengan film-film Bollywood, hiburan murah berjam-jam dan menawarkan sejuta mimpi. Manusia-manusia dari dua sisi perbatasan ini ternyata berbagi mimpi yang sama.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com