Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (127): Dusun Mati

Kompas.com - 28/01/2009, 08:19 WIB
[Tayang:  Senin - Jumat]


Dusun Karimabad terperangkap dalam sepi. Salju terus mengguyur, menyelimuti lereng gunung dengan warna putih yang merambah semua sudut. Teras-teras ladang bagaikan lautan salju yang berombak. Saya juga terperangkap di sini.

Sekarang hanya ada seutas jalan yang menghubungkan Karimabad dengan dunia luar - Karakoram Highway. Ke utara, ke arah China, perbatasan ditutup total sejak awal Januari. Ke selatan, ke arah kota-kota Pakistan, jalan pun tertutup oleh longsoran batu gunung. Seluruh wilayah Northern Areas sekarang terperangkap dalam dunianya sendiri.

Saya sudah ingin cepat-cepat meninggalkan surga di lereng Karakoram ini menuju Kashmir, tempat saya seharusnya bekerja sebagai sukarelawan. Tetapi harga karcis bus ke Rawalpindi sungguh mahal, 821 Rupee. Karenanya, saya langsung mengiyakan tawaran Akhtar, pemuda dari Sost, yang katanya mau berangkat bersama menuju Islamabad dengan kendaraan pribadinya.

Tetapi janji orang sini tak boleh dipercaya seratus persen. Akhtar berkata, seminggu lagi kita berangkat. Saya sudah menunggu seminggu penuh, tak ada kabar juga. Komunikasi satu-satunya yang mungkin hanya via telepon. Di musim dingin begini, hanya ada satu warung telepon yang buka di Karimabad. Saya harus naik bukit hanya untuk sekadar menanyakan kapan ia berangkat. Jawabannya, bisa ditebak, “Mister, ‘dua’ hari lagi”. Dua hari berikutnya, di bawah guyuran salju lebat tengah malam, saya menempuh perjalanan menuju wartel. Jawaban Akhtar masih sama, ‘dua’ hari lagi. Alhasil, sudah tiga minggu saya di sini, menanti janji yang entah kapan akan dipenuhi.

Tetapi saya percaya, hambatan dan rintangan di jalan, semuanya itu ada yang mengatur. Saya teringat, dua tahun yang lalu, ketika saya bersiap berangkat dari Kabul menuju ke China via Pakistan, saya malah ketiduran dan ketinggalan bus. Saya terlambat satu hari dari rencana semula. Tetapi setelah sampai di Rawalpindi, saya mendapat kabar bahwa bus yang sehari sebelumnya berangkat ke Gilgit mengalami kecelakaan dan terjatuh ke jurang. Tepat sehari sebelumnya! Kalau saja hari itu saya tak tertidur dan ketinggalaan mobil, tentu saya berada dalam kendaraan nahas itu, terjungkal dalam jurang Karakoram Highway yang dalam. Tak perlu dibayangkan, saya hanya belajar bersyukur untuk segala kejadian yang saya alami.

Penduduk Karimabad pun sudah terbiasa dalam kemonotonan warna musim dingin. Desa yang hidup dalam hembusan nafas turisme ini mati suri di musim dingin. Tak ada turis yang datang. Toko suvenir tutup sepanjang bulan. Hotel tak punya tamu sama sekali. Listrik pun sering tak datang. Para pria duduk di pinggir jalan, menyalakan api unggun dan bermain halma. Waktu berlalu begitu saja.

Politik menjadi perbincangan favorit orang-orang bosan ini. Kemarin ada berita menggemparkan, banyak jemaah yang tewas terinjak-injak dalam kecelakaan ibadah haji di Mekkah.

          “Apa lagi sebabnya itu kalau bukan ketamakan? Semua ingin mendapat pahala yang paling besar” kata seorang pria desa, “para jemaah itu rakus dan egois. Apa gunanya pula jauh-jauh pergi haji kalau sifat-sifat macam itu masih dipelihara?”

Pemerintah Saudi Arabia, menurut berita di televisi, juga menyalahkan jemaah haji yang tidak disiplin ketika melempar jumrah.

Sebaliknya, orang Ismaili jarang yang berangkat naik haji. Pemimpin besar mereka, Karim Aga Khan, mengimbau pengikutnya untuk menyumbangkan uang ke jemaat khana – masjid orang Ismaili – yang kemudian mengatur penggunaan uang itu untuk kebutuhan ummah.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com