Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (136): Hancur Lebur

Kompas.com - 10/02/2009, 08:08 WIB
[Tayang:  Senin - Jumat]

 

 

Saya dikeroyok orang-orang yang mulai beringas. Teriakan penuh marah terus bergemuruh. Asap mengepul di mana-mana. Data Darbar diselimuti lautan laki-laki yang membeludakkan semua kekesalan, “Bush anjing! Bush anjing!” bersahut-sahutan membahana.

Tiba-tiba tangan saya diseret seseorang. “Ikut saya,” katanya lembut, di tengah keberingasan gerombolan lelaki yang mengepung saya. Pria bertubuh gemuk ini kemudian menghalau orang-orang beringas yang masih berusaha menyerang saya. “Kita ke rumah dulu, yuk,” katanya. Saya mengangguk.

Qutbi bukan saja menyelamatkan saya dari kekisruhan, dia masih memberi saya segelas air dingin. Di dalam halaman rumahnya yang sederhana, saya aman. “Kamu pulang saja. Hari ini berbahaya sekali. Semua orang sudah jadi gila,” ia menganjurkan.

Saya menggeleng. Qutbi pun tak berdaya dengan kekeraskepalaan saya. Istrinya yang bercadar sekujur tubuh datang membawa sebuah kopiah putih. Qutbi memasangkannya di atas kepala saya. “Sekarang kamu sudah seperti pelajar Muslim,” kata Qutbi, “Orang-orang itu tidak akan mengganggumu lagi.” Saya sangat terharu.

Qutbi tidak tega melihat saya turun ke jalan sendirian. Ia menjadi pengawal saya. Saya merasa aman sekali.

Kami kembali ke Data Darbar. Orang-orang baru saja bershalat, dan sekarang siap bergerak, melakukan pawai jalanan keliling Lahore. Suasana semakin panas dan kacau. Asap mengepul tinggi dan api berkobar di mana-mana. Di sana-sini ada teriakan, nyanyian selawat, dan hujatan-hujatan kepada dunia Barat yang telah memperolok-olok Nabi.

Tiga orang memanjat tiang listrik, mengibarkan bendera Pakistan di puncaknya. Ratusan orang di lapangan Data Darbar bertepuk tangan, bersorak-sorai. Orasi terdengar di mana-mana, semua berbicara pada saat bersamaan. Beragam spanduk bertebaran, menyuarakan kemarahan yang sudah lama terpendam.

Menit demi menit berlalu, demonstran semakin liar. Papan iklan di sepanjang jalan dirusak. Toko yang memaksa buka di hari hartal ini ditutup paksa. Segala macam barang terlempar di udara—batu, sepatu, tongkat. Saya nyaris menjadi korban lemparan sepatu rombeng dan semprotan air, andai saja Qutbi tidak mendorong saya.

Saya ikut arak-arakan ini. Di tengah ribuan pria, yang nampak adalah mulut-mulut yang tanpa henti berteriak. Tetapi ada tawa lega menyelingi. Kelegaan untuk bisa berbicara, kelegaan meletuskan semua perasaan yang telah begitu lama dipendam. Ada pula truk bak terbuka, yang mengangkut banyak bocah-bocah kecil. Apakah anak SD sudah mengerti politik? Bukan soal, yang jelas mereka semakin meramaikan pawai raksasa ini, yang sudah lama tidak pernah ada di kota Lahore.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com