Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (145): Belajar di Atas Puing-Puing

Kompas.com - 23/02/2009, 07:15 WIB
[Tayang:  Senin - Jumat]

 

Kemah biru besar terletak di bukit di atas perkemahan tim sukarelawan kami. Pagi hari, ketika kabut masih menyelimuti badan gunung, saya masih terbungkus selimut tebal mengusir dingin, bocah-bocah di luar sana sudah bernyanyi lagu kebangsaan. Di tenda biru itu mereka sekolah, belajar di atas puing-puing gedung sekolah yang sudah ambruk.

Tenda ini sumbangan China. Tertulis huruf Mandarin besar – Jiu Zai – Pertolongan Bencana. Saya dulu pernah melihat ratusan tenda serupa di Aceh sehabis tsunami. Sekarang, tenda China ini juga populer di daerah gempa Pegunungan Kashmir.

Hari ini, semangat anak-anak sekolah yang belajar di pagi yang masih dingin menggigit, turut membakar tekad saya untuk bekerja lebih giat. Walaupun medan sangat berat, saya membulatkan tekad untuk terus berjalan bersama Ijaz Gillani dan Manzur, dua sukarelawan asal Islamabad. Mereka orang kaya, tetapi tak segan bekerja di desa seperti ini.

Tugas kami hari ini adalah mendata keluarga yang menerima sumbangan bahan bangunan rumah. Beberapa hari ini, NGO kami membagikan sheet CGI untuk atap rumah, yang katanya lebih tahan gempa dan sejuk di musim panas. Sekarang, beberapa keluarga sudah menyelesaikan pembangunan rumah mereka, dan tugas kami adalah mendokumentasikan aktivitas mereka. Total ada 500 rumah permanen yang dibangun di pegunungan ini, di Noraseri, desa-desa di lereng atas, dan lereng bawah sampai ke jalan raya dan lembah sungai.

Jalan naik turun gunung begini tak mudah, apalagi karena hujan berhari-hari, lumpur menggenang di mana-mana. Berkali-kali saya terpeleset. Tetapi saya tak mau menyerah di sini, apalagi teringat kanak-kanak mungil yang begitu giat belajar dalam kondisi yang parah seperti ini.

Farman, seorang pria gemuk keluarga menengah di Noraseri, juga punya sekolah sendiri. Ia pemilik sebuah sekolah swasta yang sekarang juga tinggal sebuah tenda terpal. Tak ada meja dan kursi, semua duduk bersila. Gedung sekolah sudah rusak berat, tereduksi menjadi tumpukan batu tak berguna. Dulu muridnya ada 67, sekarang tinggal 55 orang saja. Istrinya mengajar, bersama dua orang guru muda lainnya yang masih berumur 15 tahun. Tiga orang guru, lima puluhan murid dari kelas 1 sampai 5 semua belajar di bawah tenda yang sama. Yang kelas tiga mengerjakan soal matematika, yang kelas satu belajar membaca. Campur aduk. Tetapi mereka tetap belajar. Istri Farman, berkerudung putih, dengan telaten mengarahkan konsentrasi murid-muridnya.

SPP murid-murid Farman seharga 100 sampai 160 Rupee per bulan, tergantung kemampuan keluarga. Dibandingkan SPP sekolah negeri yang cuma 12 Rupee per bulan, angka itu masih terbilang tinggi.

           “Sama sekali tidak mahal,” kata Farman, “uang SPP murid ini hanya cukup untuk membayar gaji guru. Desa kami terlalul miskin, dan pendidikan itu bukan untuk mengeruk keuntungan.”

Di puncak bukit, ada sekolah lain. Gedungnya sudah hancur lebur. Yang tersisa hanya tumpukan batu yang menghampar. Gedung kepala sekolah sekarang cuma tinggal sederet batu mengelilingi beberapa meja dan kursi yang sudah rusak. Luka-luka gempa yang masih tergores hingga hari ini.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com