Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (146): Di Bawah Temaram Lampu Minyak

Kompas.com - 24/02/2009, 09:20 WIB
[Tayang:  Senin - Jumat]

 

Sekali perjalanan naik turun gunung, mengumpulkan data puluhan keluarga korban gempa dalam sehari, rasanya sudah membuat remuk tulang punggung. Tetapi saya tersentuh oleh keramahan setiap keluarga miskin yang selalu menawarkan secangkir teh panas. Dalam kesengsaraan, mereka masih ingat berbagi kebahagiaan.

Hari ini kami mengunjungi lima desa. Tiga di atas, dua di bawah. Ijaz mengajari saya, kalau berpapasan dengan perempuan, kita tak boleh memandang wajah mereka atau berkontak mata, harus cepat-cepat menunduk dan mengalihkan pandangan. Umumnya penduduk desa menantikan kedatangan kami, menyampaikan keluh kesah jumlah CGI sheet yang tak cukup, atau menyampaikan keberhasilan rumah baru mereka yang mungil namun nyaman.

Untuk setiap penerima bahan bantuan, kami mencatat nama kepala keluarga dan nama ayah. Hanya mereka yang sudah berkeluarga saja yang berhak menerima. Banyak orang yang punya nama sama di Pakistan. Hampir semua orang namanya berasal dari Al Qur’an. Karena itu pulalah, nama ayah juga perlu dicatat untuk menjadi pembeda. Tetapi ada pula kasus di mana dua orang bisa punya nama sendiri dan nama ayahnya yang sama persis. Untuk kasus begini, yang paling berfungsi adalah nomor KTP. Setiap korban gempa yang menerima bahan bangunan harus menunjukkan dokumen.

Senja hari, perkemahan sukarelawan DM-Aid berkelap-kelip. Listrik tak pernah masuk ke desa ini sejak gempa. Kami hanya bertahan di bawah temaram lampu petromaks. Beberapa pemuda dari tim kami sibuk mencatat semua data yang berhasil dihimpun sepanjang hari ke dalam buku besar. Data ini nanti akan dimasukkan ke database komputer di Muzaffarabad. Saya tak bisa membantu karena semua dalam bahasa Urdu.

Di tenda lainnya, anggota tim yang lain berkumpul. Penduduk desa Noraseri, mulai dari dokter sampai pelajar SD, datang meramaikan malam kami. Seperti biasa, mereka bermain kartu. Manzur Sahab membaca buku-buku puisi Urdu, mengajari saya beberapa bait sederhana.

Yang lebih bersemangat lagi adalah para pemuda. Dalam kegelapan yang samar-samar begini sibuk berdebat agama. Sebenarnya saya yang mulai, iseng-iseng bertanya tentang makna peringatan Ashura. Mengapa di negeri yang mayoritas Sunni ini, peringatan umat Syiah menjadi hari yang teramat penting.

          “Ashura adalah perjuangan kebaikan melawan kejahatan,” jelas Rashid, “ini sifatnya universal. Bukan masalah Sunni atau Syiah. Semua Muslim harus menghayati maknanya.” Hussain, cucu Nabi Muhammad, adalah penegak kebenaran. Yazid, musuhnya, adalah lambang demoralisasi, dosa, kejahatan, kebusukan. Perang antara Hussain dan Yazid di Padang Karbala adalah jihad, juga melambangkan jihad kita menuju kebenaran.

Kisah ini selalu diulang-ulang dalam setiap acara majlis, tetapi selalu saja ada perbedaan pendapat. Seperti kisah Mahabarata yang setiap bagian ceritanya mengandung pelajaran, teladan Hussain melawan Yazid pun demikian. Sohail, teman satu tim, mengkisahkan bahwa pasukan Hussain kala itu hanya ada 72 imam, sedangkan pasukan Yazid jauh lebih banyak dan kuat. Tubuh Hussain diterjang panah, didera sakit yang hebat, terkapar di tengah padang gurun. Dari kisah ini, kita belajar tentang kebebasan dan demokrasi, bagaimana Hussain menawarkan kesempatan kepada Yazid untuk memilih jalan yang benar. Kita juga belajar tentang cinta pada Sang Khalik, salat tengah malam Hussain yang menyerahkan dirinya sepenuhnya ke dalam kuasa Tuhan. Kita juga belajar tentang kesetiaan 72 imam yang memilih untuk tetap mendirikan salat tanpa meninggalkan Hussain dan Allah.

Bagi kebanyakan orang Pakistan, agama adalah segalanya. Diskusi agama seperti ini diikuti dengan sepenuh hati. Tak jarang suasana bisa memanas, terlebih lagi kalau sudah menyangkut kepercayaan. Di tim kami, ada penganut Sunni dan Syiah. Seperti biasa mereka selalu berbeda pendapat tentang upacara Ashura umat Syiah yang berdarah-darah. Kemah yang satu ini penuh dengan orang ngotot yang berteriak-teriak sampai terlihat urat lehernya. Saya memilih pindah ke kemah lain yang lebih damai.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com