Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (148): Lautan Tenda

Kompas.com - 26/02/2009, 07:38 WIB
[Tayang:  Senin - Jumat]

 

Jantung kota Muzaffarabad, ibu kota Azad Jammu dan Kashmir, terletak di persimpangan dua sungai paling penting di Pakistan, Neelum dan Jhelum. Perbukitan kota ini menjamin kesejukan udara setiap saat. Pemandangannya pun tentram. Kalau bukan karena menjadi sengketa antara India dan Pakistan, dan kalau tidak diluluhlantakkan oleh gempa dahsyat 8 Oktober 2005, kota ini pasti menjadi tujuan wisata favorit.

Muzaffarabad bukan kota besar. Jalan raya menghubungkan distrik Chella Bandi di utara sampai ke Gedung Sekretariat di ujung selatan, panjangnya cuma empat kilometer. Karena berbukit-bukit, jalanan di sini juga naik turun, menyusuri lereng gunung. Beberapa lintasan sangat terjal, sehingga tak jarang mobil harus berputar-putar untuk naik. Pejalan kaki tak perlu repot karena pemerintah membangun undak-undak sepanjang jalan pintas. Jalan setapak merambah kota ini bak benang kusut, membuat Muzaffarabad semakin menantang untuk dijelajah sebagai labirin raksasa.

Muzaffarabad punya kebanggaan sejarah. Benteng Merah, atau Lal Qila, dibangun pada pertengahan abad XVII oleh Sultan Muzaffar Khan, pendiri kota Muzaffarabad. Benteng ini rusak parah karena gempa. Beberapa bagian sudah tereduksi menjadi tumpukan batu.

Landmark lainnya kota ini adalah sebuah hotel mewah bernama Neelum Valley Hotel, terletak di tebing menjorok ke Sungai Neelum. Pemiliknya adalah seorang menteri di Azad Kashmir, Khan Abdul Waheed Khan. Hotel kebanggaan ini pun hancur lebur dalam bencana dahsyat Asia Selatan itu. Bangunan megah hotel berbintang ini terlempar ke dalam sungai yang mengalir deras, menjadi salah satu dari ratusan ribu tragedi di tanah Kashmir. Abdul Waheed dan istrinya tewas, bersama dengan 14 anggota keluarga lainnya. Keluarga itu hanya menyisakan seorang putra yang kini sebatang kara, yang pada saat kejadian sedang menempuh studi di Inggris.

Bukan hanya bangunan besar saja yang hancur lebur. Pertokoan dan rumah penduduk sepanjang jalan utama Hall Road pun masih menjadi saksi ganasnya bencana alam ini. Beberapa pemilik toko nekad menjalankan usaha di bangunannya yang retak-retak, dengan resiko bisa setiap saat ambrol dengan goncangan gempa sekecil apa pun. Yang lainnya menggelar dagangan begitu saja di pinggir jalan. Bagaimana pun juga, pasar dan perekonomian sudah mulai terdengar perputaran rodanya.

Jalanan dipenuhi banyak bocah yatim yang mengemis setetes belas kasihan. Mungkin ini akan menjadi pemandangan Muzaffarabad hingga beberapa tahun ke depan. Gempa dahsyat yang menurut catatan pemerintah menelan setidaknya 70.000 korban jiwa menghasilkan entah berapa ribu yatim piatu, jutaan orang kehilangan tempat tinggal, dan kehidupan kembali merangkak dari reruntuhan dan puing-puing. Gempa ini juga mengubah wajah Muzaffarabad. Kini hadir bercak-bercak ‘kota tenda’ yang didiami ribuan pengungsi dari desa-desa di pegunungan sekitar.

          “Zindagi, o zindagi. Allah malik hai. Hidup ya hidup, Tuhan memang raja (yang menentukan),” Muhammad Nassir, seorang pengungsi, hanya bisa pasrah. Sudah lima bulan ini ia tinggal bersama istrinya, kedua adiknya, dan bayi kecilnya. Setidaknya Nassir masih termasuk beruntung, tidak kehilangan seorang pun anggota keluarganya. Sekarang ia tinggal di sebuah tenda kumuh di tengah perkampungan tenda di Stadion Narol.

Saya tercengang melihat lautan tenda yang memenuhi seluruh penjuru stadion ini. Ini adalah lapangan olah raga terbesar ketiga di Pakistan, dan sekarang menjadi kamp pengungsi terluas sekaligus terkumuh di kota ini. Tenda-tenda tersebar semburat sejauh mata memandang. Terpal dengan logo UNHCR dan ILO menandai kehadiran PBB di tempat ini.

          “Tetapi mereka tak memberi apa-apa,” kata Nassir, “selain tenda dan selimut. Tidak ada janji kapan kami akan dimukimkan. Apakah kami akan tinggal di sini selamanya? Hanya Allah yang tahu.” Nassir bekerja sebagai satpam di sebuah NGO untuk menghidupi keluarganya di tenda sederhana yang dipenuhi kasur dan perabotan masak ini. “Kami tak bisa bergantung pada siapa pun. Kami harus bertahan hidup dengan kekuatan kami sendiri.”

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com