Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (151): Terjebak Birokrasi Pakistan (2)

Kompas.com - 03/03/2009, 07:47 WIB
[Tayang:  Senin - Jumat]

 

Perpanjangan visa Pakistan membuat saya merasa seperti bola pingpong yang dilempar dari satu kantor ke kantor lain.

Kementrian Dalam Negeri letaknya jauh sekali dari Kantor Paspor. Islamabad adalah kota modern yang didesain oleh orang Eropa tetapi dimanajemen oleh orang Pakistan. Akibatnya adalah perencanaan tata kota yang matang yang berbaur dengan morat-maritnya dunia ketiga. Jalan lurus dan panjang, taman-taman yang teratur rapi, di sebuah kota kosong di mana kantor-kantor pemerintah bertebaran di segala penjuru.

Saya dan dr. Zahid menunggu di depan bangunan Visa Section di kompleks Kementrian Dalam Negeri. Ada dua pintu. Yang satu khusus untuk warga Afghan, keturunan Afghan, dan jurnalis – kelompok rawan. Pintu lainnya untuk orang asing, turis, dan NGO. Jam kerja kantor ini dari pukul 11 hingga 12 siang – benar-benar jam kerja yang ideal.

Pengumuman yang tertempel di depan pintu mengatakan bahwa pukul 10:45 akan dibagikan nomor urut bagi para pengantre. Tetapi tidak ada antrian di sini. Semua orang bergerombol di depan pintu yang masih tertutup. Kami hanya menantikan detik-detik pintu kayu yang agung itu akan terbuka, sebagai jalan emas menuju visa Pakistan.

Bukan Pakistan namanya kalau tidak terlambat. Pukul 11:15, pintu itu baru terbuka. Seorang petugas membawa setumpuk kartu kecil. Bukannya dibagikan kepada orang yang mengantre, kartu-kartu itu malah disebar ke udara. Kami, orang asing pelamar visa, berebutan memunguti kartu seperti pecandu lotre. Yang beruntung, baru datang langsung dapat nomor urut kecil. Yang lagi sial, sudah datang dari pagi buta dan dapat nomor urut ratusan.

Ini baru awal pengalaman di Kementerian Dalam Negeri. Petugas yang berwenang mengatakan bahwa kami harus terlebih dahulu mendapat surat No Objection Certificate (NOC) dari entah kantor apa lagi di kementrian itu. “Omong kosong macam apa lagi ini,” umpat Zahid yang sudah mulai bosan dengan segala birokrasi yang ia sendiri pun tak mengerti. Benar kata orang, kolonial Inggris mengenalkan birokrasi dan orang Pakistan mengembangkannya.

Kami sampai di kantor yang ditunjukkan oleh pegawai Visa Section tadi. Kantornya pun tidak dekat. Saya heran mengapa kantor-kantor yang berhubungan tidak diletakkan satu kompleks saja, tetapi harus disebar ke seluruh penjuru kota. Petugas di kantor ini adalah seorang kakek tua yang penampilannya sama sekali bukan seperti orang yang berwenang. Dia pun terkejut. “Apa? NOC? Kami tidak pernah membuat surat itu!”

Balik lagi ke kantor visa. Api semangat saya sudah padam sejak tadi, loyo karena retentan peraturan tidak jelas ditambah panasnya Islamabad. Sekarang kami disuruh lagi ketemu dengan pejabat yang namanya Mr. Bhatti, di kantor seksi R.

Pak Bhatti ini rupanya sedang rapat. Kami menunggu satu jam, dua jam, masih belum saja kabar. Saya mulai gelisah. Tiba-tiba Zahid berseru, “Ah, betapa bodohnya aku! Aku kenal seorang birokrat penting di kementrian ini. Birokrat harus dilawan dengan birokrat. Mari kita temui beliau dan minta bantuan.”

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com