Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (154): Rumah Baru, Harapan Baru

Kompas.com - 06/03/2009, 07:39 WIB
[Tayang:  Senin - Jumat]

 

 

Perjalanan kembali ke Noraseri rasanya seperti pulang ke kampung halaman. Saya mulai merasa bahwa dusun di pegunungan ini adalah suratan takdir saya, tempat saya menemukan orang-orang dan ratusan kisah yang mengubah hati saya. Salah satunya adalah keluarga Basyir Sahab.

Dulu saya hanya mengenal Pak Basyir sebagai petugas keamanan kamp kami. Orangnya kurus, berkumis lebat, tetapi senantiasa ramah dengan senyumnya. Selalu berjubah shalwar kamiz ke mana-mana. Kalau perkemahan kami sedang kosong ketika para pekerja sosial turun ke lapangan, Pak Basyir lah yang menjaga keamanan barang-barang kami. Pak Basyir juga membantu memasak, menyediakan perlengkapan, dan membantu kami boyongan. Lebih dari itu, saya tak tahu banyak karena Pak Basyir sendiri tak banyak bicara.

Hingga akhirnya saya berkenalan dengan Mubasshar, putra tertua Basyir Sahab yang berumur 22 tahun. Mubasshar berjenggot lebat sehingga kawan-kawannya di Noraseri menjulukinya sebagai Sufi, ahli mistis. Sejak bencana gempa itu, Mubasshar tak pernah mencukur jenggotnya lagi, mungkin sebagai nasar.

          “Waktu gempa itu aku sedang bekerja di Muzaffarabad,” kata Mubasshar, “dan jalan menuju Noraseri sama sekali terputus.” Muzaffarabad hancur lebur, ribuan orang tewas. Mubasshar lebih kuatir keluarganya yang masih tinggal di lereng pegunungan Noraseri. Tanpa pikir panjang, di tengah alam yang masih sesekali mengamuk dan berguncang, Mubasshar berlari menembus hutan, longsoran tebing, dan lereng gunung yang sudah terkoyak. Dua hari berjalan tanpa henti, sampailah ia di kampung halamannya.

          “Waktu itu,” kata Mubasshar, “jangan kau tanya lagi berapa banyak air mataku yang tumpah. Tiga adikku mati. Yang dua sudah dikubur. Yang paling kecil, yang wajahnya mirip orang China itu, baru saja ditemukan di bawah reruntuhan rumah. Adik bayiku yang malang, ia sama sekali tak terluka. Tapi ia tak bernafas.”

Hari itu juga bayi itu dikubur, diiringi derai air mata keluarga yang bertahan hidup dari sisa puing-puing rumah mereka.

Pak Basyir punya enam putra dan empat putri, tipikal keluarga Pakistan yang punya anak banyak karena mempercayakan nasib di tangan Tuhan. Sekarang anaknya tinggal tujuh.

Sore itu Pak Basyir datang berbisik-bisik kepada saya, “Kamu tahu, sejak hari pertama kamu datang ke tempat kita untuk survey, malamnya istriku menangis.. Melihat wajahmu, istriku terbayang bayi kami yang berwajah seperti orang China itu. Melihat wajahmu, istriku merasa kamulah pengganti bayi kami itu.”

Saya terharu sekali mendengarnya. Karena aturan adat yang ketat, saya tak pernah bertukar kata-kata dengan istri Pak Basyir. Saya hanya melihat bayangannya di balik dapur, sekelebat. Tetapi hanya selayang pandang bayang-bayang, istri Basyir Sahab memperhatikan saya lekat-lekat.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com