Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (155): Para Pengikut Ali

Kompas.com - 10/03/2009, 07:52 WIB
[Tayang:  Senin - Jumat]

 

Suasana kesedihan menggelayut di Muzaffarabad. Para pria serempak memukuli dadanya. Anak-anak menyambitkan pisau tajam. Darah di mana-mana.

Empat puluh hari yang lalu, 10 Muharram, adalah hari yang paling sedih sepanjang tahun. Ratusan orang berkumpul di lapangan, menangis bersama-sama, memukuli diri, dan menyambitkan rantai pisau sambil meratap. Darah segar mengalir, tetapi sama sekali tidak menghalangi jalannya upacara.

Bulan Muharram adalah bulan penuh kesedihan. Warna hitam bertabur di seluruh pelosok kota. Lengang, karena tidak ada yang menyalakan musik lagu-lagu Hollywood. Yang terdengar sekarang adalah lantunan irama maatam, tangan yang menepuk dada berirama sebagai lambang berkambung, dan lagu-lagu yang mengalir melankolis, meratapi kematian Hussain dan kejamnya perang Qarbala.

Hari ini, 20 Safar, adalah berakhirnya masa perkabungan yang empat puluh hari itu. Orang Pakistan menyebutnya sebagai Hari Chehlum, dari bahasa Farsi yang artinya ‘hari ke-40’. Bagi umat Syiah, memperingati Chehlum hampir sama pentingnya dengan memperingati Ashura. Walaupun mayoritas penduduk Pakistan menganut sekte Sunni, Chehlum juga diperingati sebagai hari libur nasional.

Saya mengunjungi sebuah masjid umat Syiah di pusat kota Muzaffarabad, tidak jauh dari bazaar utama.

          “Kamu Muslim?” tanya Hamdani, seorang pria tiga puluhan mengenakan shalwar kamiz hitam-hitam, warna perkabungan. Hamdani mengaku sebagai penjaga keamanan upacara peringatan Chehlum di sini. Pertanyaan tentang agama hampir pasti menjadi pertanyaan wajib waktu berkenalan dengan orang di Pakistan. Saya yang semula kikuk dengan pertanyaan pribadi macam ini, lama-lama biasa juga. “Masih belum,” jawab saya.

Hamdani tertawa senang, “Ho jaega! Ho jaega! Nanti pasti jadi, Insya Allah!” Hamdani kemudian menamai saya Muhammad Ali. “Ini nama yang bagus sekali, kombinasi dari dua nama paling dihormati dalam Islam!”

Hamdani membawa saya berkeliling masjid, tak lupa memperkenalkan saya dengan saudara-saudaranya. Ada belasan orang jumlahnya. Saya heran mengapa dia punya begitu banyak saudara. “Semua umat Muslim adalah saudara,” jawabnya.

Seorang ‘saudara’ Hamdani kehilangan kaki kanannya gara-gara gempa bumi, berjalan tertatih-tatih dengan tongkat kayu. Tetapi sama sekali tidak mengurangi semangatnya memperingati Chehlum. Hamdani dengan bangga memperkenalkan seorang ‘Muhammad Ali’ kepadanya. Si ‘saudara’ ini pun tersenyum gembira mendengar nama itu. “Bagus sekali, bagus sekali... tahun depan kamu juga ikut memperingati Ashura dan Chehlum, bukan hanya penonton saja, Insya Allah.”

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com