Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (159): Hindko

Kompas.com - 16/03/2009, 08:02 WIB
[Tayang:  Senin - Jumat]

 

Cahaya remang-remang bohlam mungil mengaburkan raut wajah para penghuni rumah. Tetapi tawa riang tak pernah berhenti membawa kesegaran di sini.

Yang saya ingat dari Samera, kakak Hafizah yang berusia 25 tahun ini, adalah seorang wanita berkulit gelap yang menangisi kepergian ayahnya, almarhum Haji Sahab. Di bawah rintik hujan, suara Samera meraung memilukan. Liang kubur ayahnya baru saja ditutup ketika ia menginjakkan kaki di tanah Noraseri yang becek.

          “Mengapa tidak ada foto Bapak?” kata Samera kecewa, memencet-mencet tombol kamera digital saya. Saya memang tidak mengambil foto jenazah Pak Haji karena takut melanggar norma masyarakat setempat. “Saya tidak sempat melihat wajah Bapak untuk terakhir kalinya, tetapi kamu malah tidak memotretnya,” keluh Samera lagi, air matanya menetes membasahi pipi.

Tetapi Samera hari ini, tiga minggu lebih setelah kepergian ayahandanya, sudah berubah menjadi perempuan yang ceria. Ia tertawa lepas ketika melemparkan bayinya yang baru enam bulan tinggi-tinggi, dan kemudian memeluk si bayi erat-erat. Bayi laki-laki itu sama sekali tidak menjerit atau menangis.

          “Anakku ini bocah pemberani,” katanya sambil mengusap-usapkan kepalanya di atas kepala si bayi. Bayi itu hanya tersenyum kecil. Samera kemudian mengangkat bayinya tinggi-tinggi, memutar makhluk malang itu seperti kincir angin. Si bayi tertawa lepas. Samera lebih bangga lagi.

Si bayi pemberani ini sudah melewatkan masa-masa paling mencekam di Kashmir. Ketika bumi bergoncang, bayi Samera tidur dengan nyenyaknya di dalam kamar. Ajaib, bayi ini selamat. “Anak pemberani memang dilindungi Khuda – Allah,” katanya.

Rumah Pak Haji ini dipenuhi oleh perempuan. Selain Bu Haji, Hafizah, Samera, masih ada lagi kakak beradik lainnya, juga sepupu dan tetangga. Saya yang sudah lama tinggal di Pakistan, di mana hubungan dengan lawan jenis selalu dibatasi purdah – tirai pemisah kasat mata. Jangan menginap di rumah yang hanya dihuni kaum wanita, untuk berbicara atau bergurau dengan perempuan saja saya tak berani membayangkan.

Di negara ini, hubungan antar gender harus dilakukan dengan penuh kehati-hatian. Terlepas dari keramahtamahan orang Pakistan yang tiada terkira, seringkali mereka ragu-ragu mengundang saya masuk ke dalam rumah kalau ada ibu atau saudara perempuan yang tak boleh tampak dalam pandangan saya. Seorang kawan mengingatkan saya, kita tak boleh menatap mata jika berpapasan dengan perempuan di jalan. Tak boleh sembarang bicara dengan perempuan, apalagi memotret. Malam ini di bawah sinar lampu remang-remang, saya malah berada di kamar yang sama dengan putri-putri Pak Haji, yang tak berhenti bercanda dan tertawa. Saya begitu dekat dengan gadis dan perempuan muda ini, yang sudah tanpa rasa sungkan melepas balutan kerudung dan kungkungan sosial yang membatasi hubungan antara pria dan wanita.

           “Augustine,” Uzma, adik Samera, merajuk manja, “mulai sekarang, kamu jadi kakak dan saya jadi adik ya. Kamu jadi bagian keluarga ini.”

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com