Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bubur Ayam Tanpa Suwiran Ayam

Kompas.com - 07/04/2009, 09:55 WIB

Curhat (mencurahkan isi hati) adalah kebiasaan orang-orang yang belum dewasa. Dan saya mengambil risiko untuk dianggap kekanak-kanakan karena “menyalahgunakan” rubrik ini untuk curhat. Soalnya, belakangan ini saya sering sulit tidur bila habis dikonfrontasi dengan pertanyaan dan pernyataan yang sungguh menohok. Anggap saja ini sebuah katarsis untuk diri saya pribadi, dan bila Anda anggap hal ini merupakan kesia-siaan, mohon berhenti membaca di sini.

Saya awali dengan pertanyaan bagus dari begitu banyak orang. “Kok Anda tidak gemuk, ya? Juga tidak berkolesterol tinggi?”

Antara tahun 1990-2000, berat badan saya stabil sekitar 80 kilogram. Pada tahun 2000, demi alasan kesehatan, saya menurunkan berat badan ke tingkat 73 kilogram. Sejak menjadi presenter acara kuliner di televisi, bobot saya “lari-lari” di antara 73-74. Bahkan pernah 76. Total kolesterol pada pemeriksaan terakhir – saya melakukannya tiap enam bulan – adalah 158. Enam bulan sebelumnya 182.

Tidak ada rahasia! Olah raga tidak tergantikan. Untuk mencapai tingkat kesehatan dan kebugaran, saya bersepeda statik satu jam setiap hari, menempuh jarak 24-25 kilometer. Setiap selesai perjalanan makan-makan, berat saya naik sekitar 1 kg, dan langsung saya turunkan dengan cara detoks dalam waktu 1-2 hari. Ini tidak boleh ditunda. Sekali ditunda, kelebihan bobot akan terus menumpuk.

Salah satu dilema yang saya hadapi adalah hujatan penonton acara saya disebuah stasiun televisi swasta, bertajuk Wisata Kuliner. Sebagian pemirsa kini sudah tahu bahwa terjadi “tipuan kamera” yang memerlihatkan seolah-olah saya menghabiskan seporsi penuh yang saya makan. Padahal, begitu saya cicipi tiga-empat sendok dan saya sudah dapat menggambarkan bagaimana rasa sajian itu, maka makanan akan disisihkan. Hanya tinggal sesendok di piring ketika kamera kembali menyorot dan saya menyatakan “mak nyuss”, atau “top markotop”, atau “sip markusip”.

Beberapa kali saya dihampiri orang yang berkata: “Anda tidak peka. Di luar sana banyak orang kelaparan, dan Anda tanpa perasaan membuang-buang makanan.” Ada juga yang membuat komentar lebih pedih: “Program Anda ini satu kesintingan. Melukai perasaan kaum miskin di negeri ini yang harus mengais-ngais makanan.”

Saya tidak pernah membantah pernyataan seperti itu. Saya telan dalam diam. Dan malam harinya saya memandangi langit-langit di kamar, sambil mohon maaf kepada Tuhan atas dosa saya – sampai hampir pagi. Tetapi, apakah saya harus menghabiskan 6-12 porsi makanan yang saya hadapi dalam sehari untuk keperluan pengambilan gambar? Saya akan berterima kasih bila ada relawan yang mengikuti saya sepanjang hari selama pengambilan gambar, dan membungkus semua sisa makanan untuk diberikan kepada kaum dhuafa.

Yang juga membuat saya prihatin adalah tuduhan sebagian orang bahwa saya dibayar untuk mengatakan “mak nyuss”. Seorang wartawan senior bahkan pernah menulis kolom “menuduh” saya sebagai promotor makanan menerima bayaran tertentu. Sejujurnya, saya dibayar oleh stasiun televisi swasta penyelenggara program dengan honor yang bagus. Karena itu, sangat salah bila ada dugaan bahwa saya bisa dipanggil ke salah satu restoran dan mengatakan apa saja yang ingin mereka katakan melalui mulut saya. Dalam program ini bahkan ada peraturan bahwa kami tidak boleh menerima undangan dari pemilik restoran atau warung. Kami datang bila kami punya info atau ada rekomendasi dari pihak ketiga tentang mutu maupun keunikan sajian di tempat itu.

Ada juga tuduhan seolah-olah saya berbohong dan mengatakan “mak nyuss” untuk semua makanan yang saya cicipi. Bila Anda perhatikan program itu dengan cermat, sekarang ini semakin sedikit makanan “mak nyuss” yang kami jumpai. Bahkan ada beberapa episode tanpa satupun sajian “mak nyuss”. Paling-paling penilaiannya “top markotop” atau “sip markusip”. Maklum, program ini sebetulnya sudah agak usang. Tempat-tempat makan terbaik sudah kami kunjungi pada dua tahun pertama.

Saya juga tidak pernah berdebat dengan orang yang mengatakan bahwa makanan yang saya sebut “mak nyuss” ternyata menurutnya biasa-biasa saja. Lidah kita semua berbeda. Apresiasi kita terhadap makanan pun sangat berbeda. Saya sangat suka keju. Tetapi, bila Anda tidak doyan keju, saya dapat menghargai perbedaan itu.

Di sebuah desa dekat Yogyakarta, saya pernah makan trancam dari kecipir muda mentah dirajang halus, dengan bumbu parutan kelapa yang istimewa. Begitu mencicipinya, sensasi dahsyat itu membuat saya mengucap “mak nyuss”. Teman saya yang melihat langsung berkomentar: “Seperti itu saja kok enak, sih?” Dia benar sekali. Tetapi, saya juga tidak salah, ‘kan? Lha wong saya memang sangat suka kecipir.

Tentu banyak yang menduga bahwa saya selalu makan gratis di mana-mana. Kenyataannya, sekalipun ada beberapa pemilik warung dan restoran yang tidak bersedia dibayar, lebih dari 80% menerima pembayaran untuk makanan dan minuman yang dikonsumsi di Wisata Kuliner. Untuk Jalansutra, hampir 100% bayar sendiri.

Belum lama ini saya memberanikan diri membuka sebuah warung kopi. Banyak orang bertanya kepada saya kenapa tidak membuat restoran saja? Terus terang, saya tidak berani membuka restoran. Pertama, tuntutan orang terhadap restoran saya pasti akan sangat tinggi. Semua makanan di restoran itu harus “mak nyuss”. Lha, apa kompetensi saya untuk membuat restoran sehebat itu? Saya tidak punya pengalaman di bidang restoran, dan sama sekali tidak punya pendidikan di bidang kuliner.

Hari pertama warung kopi dibuka, sudah ada seorang tamu yang marah karena proses pengembalian uang sangat lama. Tepat seminggu setelah warung dibuka, seorang tamu yang kecewa bahkan menuliskan kekecewaannya di surat pembaca sebuah media elektronik. Ampun! Semalaman saya tidak dapat tidur.

Penulis itu mengeluh karena menunggu setengah jam untuk pesanan bubur ayam yang akan dibawa ke kantor. Padahal, pagi yang agak sepi itu saya ada di warung dan seingat saya tidak ada tamu yang menunggu selama itu. Di warung kami disediakan bubur ayam khas Benteng (Tangerang) yang memang beda dengan bubur ayam gaya Cirebon atau Sukabumi yang umum kita temui di Jakarta. Bubur Benteng harus dimasak satu per satu. From scratch! A la minute. Daging ayam kampung dicincang halus, ditumis sebentar, kemudian dicampur dengan bubur dan kaldu ayam kampung. Hasilnya adalah bubur yang harum dan gurih.

Tetapi, yang dikeluhkan di surat pembaca itu adalah: krupuknya mlempem, sendokan pertama sangat asin, dan ... lho ... kok tidak ada potongan ayamnya? Untuk krupuk mlempem, saya tidak punya jawab. Soalnya, pagi itu justru saya makan bubur ayam di warung kami dan tidak ada masalah standar mutu. Terlalu asin? Mungkin karena bubur belum diaduk, dan sendok pertama hanya berisi tongcai yang memang asin. Tidak ada potongan ayam? Lha, iya, lah! Ayam cincang halus sudah tercampur dan menyatu dengan bubur, Mas.

Teman-teman di warung terkejut ketika esok harinya saya putuskan untuk mencabut bubur ayam Benteng dari menu sarapan. Over-reactive? Mungkin! Alasan saya sederhana. Bubur ayam Benteng ini – sekalipun istimewa – berpotensi besar untuk disalahmengerti oleh tamu kami. Karena itu, untuk menghindari kesalahpahaman, lebih baik diganti. Mungkin diganti dengan menu yang tinggal ciduk dari panci dan langsung tersaji, seperti ketupat sayur, dan lain-lain. Buat apa susah-susah membuat sesuatu yang tidak dihargai tamu?

Sekali lagi maaf atas “penyalahgunaan” rubrik ini untuk sebuah pembelaan diri. Seringkali, bila hati saya sedang ciut, saya sangat ingin lari dan menghentikan semua kegiatan yang berhubungan dengan publik.

Terima kasih atas dukungan Anda.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com