Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hainan Punya Cara, Aceh Punya Nama

Kompas.com - 16/05/2009, 14:39 WIB

Di dalam Komunitas Jalansutra, selain menyebut diri secara umum sebagai penggemar makan-makan (foodies), sebagian dari kami juga tergabung dalam kelompok-kelompok minat khusus. Di bidang wine, ada Yohan Handoyo, Lorentia, Andy Moersalim, Gatot Purwoko, dan lain-lain. Di bidang teh, ada Ratna Somantri, Bambang “Laresolo”, Linda Widjaja, dan teman-temannya. Sedangkan di bidang kopi, di bawah kepemimpinan Adi Taroepratjeka, cukup banyak yang bergabung di dalamnya, seperti: Tonny Syiariel, Rukasah Darajat, Luftran, dan kawan-kawan. Kelompok Adi dkk. ini sering melakukan coffee cupping – kalau dalam dunia wine disebut wine tasting – dengan menampilkan berbagai macam kopi eksklusif dan langka. Ada Kalosi dari Sulawesi, kopi Papua yang cadas, dan berbagai jenis kopi dari terroir eksotik lainnya.

Terus terang, dalam ketiga hal itu – wine, teh, dan kopi – saya baru sampai pada tingkat penikmat. Belum mencapai tingkat kecanggihan para afficionados. Tentu saya tahu bahwa kopi yang bagus memiliki derajat keasaman (acidity) yang pas, tetapi tidak kecut (sour). Saya juga agak tahu membedakan mana Robusta dan mana Arabika. Tetapi, kalau harus membedakan apakah yang satu ini dari Gayo (Aceh) atau dari Kilimanjaro (Afrika), barangkali saya hanya bisa geleng-geleng kepala. Saya juga pernah termangu-mangu mengagumi kenikmatan kopi di Blue Mountain, Jamaica. Tetapi kalau sekarang disuruh mendeteksi kopi itu pastilah saya tidak mampu lagi.

Belum lama ini saya berkunjung ke Manado, salah satu kota Indonesia yang masyarakatnya memiliki “budaya” minum kopi yang kuat. Sekalipun mereka juga tidak tahu membedakan kopi Mandailing dari kopi Brasil, tetapi orang-orang Manado boleh dibilang sudah mencapai tingkat “kecanduan” hard-core. Seorang penikmat kopi bisa keluar-masuk rumah kopi tiga kali dalam sehari untuk memenuhi kebutuhan kafein harian mereka.

Di Manado bahkan ada satu ruas jalan yang dipenuhi kedai kopi. Papan nama besar yang disponsori sebuah pabrik rokok bertulisan: “Community of Jalan Roda” – mengacu pada “the coffee community” yang suka nongkrong minum kopi di sana. Selain kopi hitam, di kawasan ini populer kopi goraka, yaitu kopi jahe khas Gorontalo. Ada juga beberapa kedai yang khusus menjual kopi kenari dengan biji kenari sangrai dirajang kasar ditaburkan di atas kopi panas. Cara ini mirip tradisi orang Prancis menaburkan pine nuts sangrai ke dalam teh panas.

Sambil menyeruput kopi, jajanan yang mendampingi adalah panada (semacam pastel tebal), lalampa (lemper isi tuna), nasi jaha (semacam lemang), kopi-kopi (semacam kue mangkuk), dan berbagai jajanan khas Minahasa. Seringkali juga tersedia nasi kuning yang dibungkus daun woka.

Di Manado inilah – akhirnya – saya menemukan semacam kesimpulan terhadap sebuah tanda tanya besar di kepala saya. Ketika singgah ke Rumah Kopi “Tikala” di daerah Sumur Bor yang sudah berusia 60 tahun lebih, saya iseng-iseng bertanya kepada pemiliknya. Ternyata, menurutnya, ayahnya dulu datang dari Pulau Hainan di Tiongkok. Dengan empat abangnya, mereka merantau ke Asia Tenggara. Mereka semua “berceceran” di Semenanjung Malaya untuk mengadu nasib. Hanya satu yang tiba di Manado. Seperti abang-abangnya yang sudah “turun” di Semenanjung Malaya, yang di Manado inipun kemudian membuka warung kopi. Itulah awal mula “budaya” minum kopi di Manado.

Orang-orang Aceh mungkin akan marah bila saya katakan bahwa yang disebut-sebut sebagai “Kopi Aceh” sebetulnya meniru “Kopi Hainan”. Yang saya persoalkan di sini bukanlah biji kopinya, melainkan cara menyedunya. Kalau melihat ciri-ciri dan sejarah kulinernya (the foodways), jelas sekali tampak adanya kesamaan cara menyedu kopi di Aceh dengan cara-cara yang dilakukan di kedai-kedai kopi orang Hainan di Semenanjung Malaya dan beberapa pulau di Indonesia. Orang Aceh menyedu kopinya dengan saringan dari kain yang bentuknya mirip kaus kaki, lalu menuangkan kopi itu berpindah-pindah dari satu ceret ke ceret yang lain. Hasilnya adalah kopi yang sangat pekat, harum, tetapi tidak mengandung bubuk kopi karena sudah tersaring di dalam “kaus kaki” tadi.

Bahkan kalau dilihat bentuk saringan dan ceretnya, apa yang tampak di kedai-kedai kopi Aceh sangat mirip dengan yang ada di rumah-rumah kopi Hainan. Jadi, salahkah saya bila berpandangan bahwa orang-orang dari suku Hainan-lah yang memerkenalkan cara menyedu kopi seperti itu di Aceh? Di antara penggemar kopi, cara menyedu seperti itu sering disebut sebagai “Kopi Aceh”.

Jejak-jejak perantau Hainan juga tampak nyata di Medan, Tebingtinggi, Pematang Siantar, Batam, Tanjungpinang, Pekanbaru, Padang, Bukittinggi, Jambi, Palembang, Glodok (Jakarta), Pontianak, Singkawang, Makassar, Manado, Tomohon, dan Kawangkoan. Di kedai-kedai kopi di kota-kota yang saya sebut di atas, tampak sekali adanya kesamaan cara menyedu serta alat-alat penyedunya. Masih banyak yang memakai arang untuk mendidihkan air. Kekentalan kopi yang dihasilkan pun kurang-lebih sama. Formulanya adalah satu kilogram kopi untuk 40-50 cangkir, atau sekitar 20-25 gram per cangkir. Hanya di Pontianak saja kopinya lebih encer dibanding kopi serupa di kota-kota lain.

Sekadar catatan, Pulau Hainan yang terletak di Selatan Republik Rakyat China ini dulunya disebut Pulau Kheng Chew. Pada akhir abad ke-19, pelabuhan di pulau ini dibuka sebagai pelabuhan internasional bebas. Inilah yang mengakibatkan arus perantau dari Hainan ke wilayah-wilayah Asia lainnya. Tetapi, mereka sudah ketinggalan dari suku Hokkian dan Tiociu yang lebih dulu “menguasai” beberapa kawasan Asia. Alhasil, orang-orang Hainan hanya kebagian pekerjaan-pekerjaan kasar dan rendahan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com