Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (204): Kamp Pengungsi

Kompas.com - 18/05/2009, 08:18 WIB
[Tayang:  Senin - Jumat]

Pulang. Mengapa harus pulang? Rumah sudah menjadi puing-puing. Tidak ada pekerjaan. Tidak ada roti. Tidak ada impian. Tidak ada yang tertinggal lagi, kecuali selimut debu, kerumunan orang-orang lapar, hancurnya kebanggaan masa lalu yang dibungkus rapat-rapat oleh pasir gurun dan gunung gersang.

Bazaar Khyber di jantung kota Peshawar adalah mesin waktu yang melempar saya ke zaman Seribu Satu Malam. Hanya satu warna yang ada: coklat kelabu. Pria-pria bersurban dan berjubah lalu lalang di jalan-jalan pasar Khyber yang berkelok-kelok bak rumah sesat. Di dunia yang hanya dikuasai laki-laki ini, wajah wanita nyaris tak terlihat sama sekali. Pasang-pasang mata besar dan garang mengintip dari balik kain hitam pekat. Itu pun jumlahnya masih bisa dihitung.

Keledai dan kuda menarik berbagai macam barang dagangan. Ada bagian yang khusus menjual jubah. Ada yang khusus menjual barang elektronik dari China. Ada lagi bagian baju-baju bekas yang dijual nyaris gratis. Bahkan topi beruntai manikam dari Kandahar, topi pakkol dari Gilgit, hingga peci Melayu, semua ada di bazaar besar ini.

Melayu memang pernah singgah di sini. Bukan hanya saya saja yang selalu berpeci untuk membawa identitas ke-Indonesia-an saya, yang hampir tak lagi dikenali lagi ketika saya sudah mengenakan jubah kamiz dan celana shalwar ala Pakistan. Soekarno pun pernah datang ke sini, berpidato di sebuah pertigaan tak jauh dari Bazaar Khyber. Pertigaan itu sekarang dinamai Soekarno Square. Waktu terus bergulir. Peshawar seakan tidak pernah lepas dari masa lalunya. Namun, orang sudah tak ingat lagi siapa itu Soekarno.

          "Soekarno? Hmm... Siapa ya dia? Mungkin pahlawan dari India," kata seorang apoteker yang tokonya terletak persis di depan Soekarno Square.

Latifullah, sepuluh tahun umurnya. Ia sangat lincah melayani pembeli. Tubuhnya sudah gemuk sekarang. Tiga tahun lalu ketika saya berada di toko topi tradisional ini, dia masih bocah kecil yang malu-malu menuangkan teh hijau ke dalam cangkir mungil. Sudah banyak pula celotehnya. Atau karena mungkin saya juga semakin lancar berceloteh dalam bahasa Urdu, dibandingkan tiga tahun silam. Toko topi ini punya abangnya, Khalifullah. Topi yang dijual di sana kebanyakan buatan tangan dari Afghanistan. Indah sekali detailnya, dengan manik-manik dan cermin-cermin kecil yang disulam rapi.

Toko Khalif tak pernah sepi. Seorang kakek tua berjenggot putih panjang sibuk mematut dirinya di depan cermin kecil punya Khalif. Topi putih yang hendak dibelinya dipasang miring ke kiri, miring ke kanan. Lama juga dia mengagumi dirinya dengan topi baru itu. Saya jadi teringat ABG yang mencoba mode pakaian terbaru di departement store di Indonesia.

Latif menuang lagi teh ke dalam cangkir-cangkir. Khalif menghirup dalam-dalam teh hijau panasnya.

           "Benar kamu mau kembali lagi ke Afghanistan?" tanya Khalif.
           Saya mengangguk.
           "Kamu suka sekali Afghanistan?"
           Saya mengangguk lagi.
           "Apa sih yang mau kamu cari di sana?"

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com