Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Masakan Pinggir Jalan Saigon

Kompas.com - 30/04/2010, 12:32 WIB

KOMPAS.com - Menyusuri lebuh-lebuh jalan sepanjang jalan Ho Chi Minh City - nama pengganti dari kota yang semula bernama Saigon - kita seakan-akan menyadari bahwa separuh penduduk kota ini pekerjaannya memasak dan berjualan makanan, sedangkan separuh lagi merupakan konsumennya.

Ciri seperti ini juga tampak di Bangkok dan di beberapa kota Indonesia. Berjualan makanan tampaknya memang merupakan jenis bisnis yang paling pertama dipikirkan oleh setiap orang Asia. Soalnya, semua orang harus makan, bukan?

Tetapi, para pedagang makanan kelas kaki lima di Saigon dan Bangkok jauh lebih banyak ragam dan jenisnya dibanding dengan yang kita lihat di Indonesia. Di Indonesia, sering kali kita melihat satu ruas jalan dipenuhi penjual jagung rebus dan bakar – semua sama dan berderet-deret. Atau sepanjang jalan semua berjualan pisang goreng. Kalau sedang ke Jakarta Fair, misalnya, saya sendiri bingung bagaimana caranya memilih dari belasan penjual kerak telur di sana.

Di kota-kota Thailand dan Vietnam, para pedagangnya lebih pintar memahami keanekaragaman. Di satu ruas pendek dekat Pasar Ben Thanh, misalnya, kita mudah mendapati puluhan jenis makanan yang berbeda. Penjual buah potong, jagung bakar, jagung rebus, juhi (cumi kering yang dibakar dan kemudian ditokok-tokok dengan palu), carrot cake (char kue kark), berbagai jenis lemper atau lemang (bahan utamanya ketan putih dan ketan hitam, tetapi isinya bermacam-macam, seperti: kacang merah, daging ayam, daging sapi, daging babi, dan lain-lain), baguette (roti prancis) dengan berbagai isi (udang, daging sapi, bebek panggang, dan lain-lain), mi kuah, serta masih banyak lagi.

Seperti pernah saya ceritakan dalam kunjungan-kunjungan sebelumnya ke Ho Chi Minh City, para pedagang ini rata-rata memakai pikulan atau gerobag dorong, dengan membawa beberapa dingklik kecil rendah untuk para pelanggan. Pelanggan duduk mengitari penjual.

Ada yang melihat ke dalam, ke arah penjual, sambil asyik memerhatikan penjual menyiapkan makanan. Ada pula yang melihat ke arah luar, yaitu melihat lalu lintas. Dua-duanya merupakan alternatif yang baik. Soalnya, penjualnya sering perempuan cantik nan semlohai. Sedangkan yang lalu-lalang pun tak kalah syur-nya. Secara umum, suasananya sangatlah proletar.

Ada satu jajanan pinggir jalan yang menarik perhatian saya. Jajanan ini harganya sangat murah, dan bahan utamanya adalah banh trang – yaitu rice paper. Dibuat dari tepung beras, setipis kertas, digunakan untuk membungkus segala macam makanan. Sekalipun kering, begitu bersentuhan dengan kelembaban sayur atau daging yang dibungkusnya, banh trang ini segera menjadi lembek dan dapat digulung seperti kulit lumpia.

Jajanan yang satu ini tampaknya populer di kalangan anak-anak dan remaja. Di atas selembar banh trang, diletakkan tiga bakso kecil, lalu ditambah guntingan banh trang, rajangan daun slada, tauge, disiram kuah tiram kental, dan kemudian digulung menjadi semacam lumpia.

Sebagai pengganti bakso kecil adalah sosis, atau telur burung puyuh. Harganya hanya sekitar dua ribu rupiah. Sambil duduk kongkow santai, seorang bisa menghabiskan tiga sampai empat jajanan. Tentu cukup mengenyangkan karena banh trang dibuat dari beras.

Bun Bo Hue

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com