Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kereta Uap Terakhir...

Kompas.com - 19/06/2010, 17:30 WIB

KOMPAS.com - Ny Surip (57) duduk di dekat tanaman pagar, lima meter dari jalur rel di Stasiun Sangkrah, Solo, Rabu (9/6/2010). Ia duduk bersama para tetangganya menunggu sepur kluthuk Jaladara memasuki Stasiun Sangkrah. Kali ini, lokomotif uap ini membawa gerbong-gerbong barang kosong yang dulunya biasa untuk membawa kricak atau batu-batu seukuran kepalan tangan orang dewasa yang diletakkan di sekitar rel.

Ingatannya melayang pada masa beberapa puluh tahun lalu. Saat usianya 5 tahun, ia masih mengalami naik kereta uap dari Solo ke kampung halamannya di Nguter, Sukoharjo. Dengan dioperasikannya kereta uap Jaladara, meski hanya untuk kepentingan pariwisata, Ny Surip tidak pernah melewatkan kesempatan menanti kedatangan sepur uap itu saat tiba di Stasiun Sangkrah.

"Keretanya antik, pakai kayu untuk bahan bakar. Kalau datang biasanya juga ada atraksi di stasiun, seperti barongsai. Tetapi sayang, yang ini saya belum pernah naik, tidak kebagian karcis waktu ada promosi naik gratis," ungkap Ny Surip.

Mantan Kepala Humas PT Kereta Api Daerah Operasi IV Semarang, Suprapto, yang kini ikut mengelola sepur kluthuk Jaladara mengatakan, kereta-kereta uap milik PT Kereta Api mulai digantikan kereta diesel hidrolik pada tahun 1952, seiring nilai ekonomi dan perawatan lokomotif uap yang semakin mahal dan sulit. Operasional lokomotif uap terakhir yang mengangkut penumpang terjadi pada tahun 1981 untuk jurusan Solo-Madiun.

Untunglah selang bertahun-tahun kemudian, kereta uap ini tidak benar-benar menjadi kereta uap terakhir. Dengan munculnya pariwisata yang memanfaatkan lokomotif uap, kereta yang sempat hanya tinggal cerita ini, kini memulai sejarahnya kembali.

Lokomotif uap milik PT KA yang saat ini masih dijalankan hanya empat buah, yakni di Ambarawa (2 buah), Solo (1), dan Sawahlunto (1). Sisanya disimpan di Taman Mini Indonesia Indah sebanyak 25 buah dan Museum Ambarawa 21 buah. Lokomotif uap lainnya banyak yang menjadi korban kanibal untuk kereta lainnya.

Di Eropa, terutama di Jerman, lokomotif uap tua sangat dihargai. "Si tua" itu selalu diperiksa "kesehatan" dan "tempat berjalan"-nya pun masih tertata rapi dan terawat.

"Amat disayangkan jika peninggalan sejarah itu ditelantarkan. Di Indonesia, yang tak terawat kebanyakan rel dan jembatannya," kata Bernd Seiler, wisatawan asal Berlin, Jerman, saat berkunjung ke Cepu, Blora, awal Juni.

Bernd yang tergabung dalam Far Rail Tours, bersama enam turis lain, mengunjungi Cepu, Ambarawa, Sukoharjo, dan Karanganyar. Tujuannya adalah menikmati dan mengabadikan wisata lokomotif uap tua di setiap daerah itu.

"Di negara kami, tontonan yang terkenal adalah sepak bola atau superbike. Kami ingin berganti suasana dengan menikmati tontonan yang lebih unik dan kuno yang telah dilupakan banyak orang," kata Bernd yang berkesempatan mengendalikan lokomotif uap tua di Cepu.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com