Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Payung Toleransi dari Seren Taun

Kompas.com - 30/11/2010, 04:15 WIB

Kuningan, Kompas - Perayaan seren taun di Kampung Adat Cigugur, Kuningan, bukan sekadar pesta sedekah bumi, melainkan perwujudan toleransi masyarakat yang tidak tersekat batasan apa pun. Kegiatan budaya ini juga menjadi salah satu bentuk pelestarian kearifan lokal.

Puncak pergelaran adat yang dirayakan tiap 22 Rayagung, atau yang tahun ini berlangsung pada Senin (29/11), merupakan manifestasi rasa syukur penduduk agraris Sunda atas limpahan kesejahteraan yang selama ini mereka peroleh. Namun, inti pe- rayaan pesta budaya dan seni ini adalah melestarikan nilai-nilai toleransi dengan semangat Bhinneka Tunggal Ika.

Jibardi (50), warga Kampung Cipager, Desa Cigugur, mengatakan, persiapan dan pelaksanaan pesta adat dilakukan oleh semua warga Cigugur tanpa memandang agama dan suku. ”Baik yang beragama Nasrani, Katolik, Islam, atau kepercayaan, semuanya sukarela menyiapkan pesta seren taun. Bukan hanya orang Cigugur yang sibuk. Orang dari luar (Cigugur) juga ikutan membantu,” ujar Jibardi.

Sistem kerja saling berbagi tugas dan tidak ada pengotak-ngotakan peran berdasarkan keyakinan juga merupakan bentuk toleransi yang tetap terpelihara. Kesih (70), warga Cigugur, menuturkan, tidak pernah ada perselisihan karena latar belakang agama akibat salah satu pihak merasa dirugikan. Sebab, semua masalah diselesaikan bersama-sama tanpa memandang siapa yang tertimpa musibah.

Menurut sesepuh adat Cigugur, Pangeran Djatikusumah, toleransi masyarakat yang berbeda keyakinan dan kepercayaan di Cigugur sudah berlangsung puluhan tahun. Namun, tidak mudah mempertahankan toleransi, terlebih di masyarakat yang mulai melupakan nilai-nilai budaya dan kearifan lokal. Terlebih lagi, banyak pihak sudah dibutakan oleh kesejahteraan kebendaan sehingga muncul konflik dan persaingan.

Menjaga alam

Untuk itu, memberikan pendidikan budaya dan seni kepada anak-anak dan orang tua menjadi metode efektif menanamkan kembali nilai-nilai kearifan lokal, yang di dalamnya ada semangat gotong royong dan toleransi.

Eka Santosa selaku Duta Sawala Dewan Musyawarah Kasepuhan Masyarakat Adat Tatar Sunda mengakui, toleransi yang terbentuk dan terpelihara di Cigugur adalah nilai kearifan lokal yang perlu ditumbuhkan. Sebab, selama ini pemerintah pusat dan daerah cenderung mengabaikan nilai-nilai toleransi yang dulu pernah ada. Padahal, toleransi antarwarga adalah hal terpenting untuk menciptakan keharmonisan pembangunan.

Keragaman dan persatuan masyarakat juga terlihat dari peserta dan tamu yang hadir, seperti dari Kesultanan Brunei Darussalam, Keraton Surakarta Hadiningrat, sejumlah pemuka agama, serta masyarakat adat di Jawa Barat dan luar Jawa. Wisatawan mancanegara, di antaranya Sarah Brikke (27) asal Perancis, pun telah merasakan toleransi agama di Cigugur. Tak ada perbedaan yang harus dipermasalahkan sehingga dia merasa nyaman berkunjung ke Cigugur.

Seren taun juga merupakan bentuk refleksi bagi masyarakat untuk introspeksi diri, kembali melestarikan alam, dan selalu mengabdi kepada Pencipta. Hal itu menjadi tema seren taun 1943 Saka Sunda kali ini, yakni ”Ngatik Diri, Ngarawat Buwana, Ngabdi ka Sang Hyang Cipta”. (THT)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com