Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cinta Saoma dan Puu Nung di Kamp Maesa

Kompas.com - 24/12/2010, 11:02 WIB

KOMPAS.com — Kami telah berbaur dengan ratusan pengunjung di Kamp Maesa, Chiang Mai, Jumat (3/12/2010) pagi. Sekawanan gajah besar setinggi lebih dari dua meter tiba-tiba menghadang. Semua orang bergegas membuka jalan karena para gajah rupanya hendak mandi di sungai.

Kegiatan mandi di sungai menjadi tontonan segar pengunjung yang sebagian besar merupakan wisatawan mancanegara. Mereka langsung merekam gambar gajah yang menyembur-nyemburkan air dari belalai, atau sejumlah pawang yang membersihkan kulit tebal gajah dengan sikat. Ketika gajah selesai mandi dan kembali melintasi jalan semula, para pengunjung berebutan memotret lebih dekat dengan satwa liar yang telah dijinakkan ini.

Kegiatan sederhana memandikan gajah merupakan suguhan awal atraksi wisata di Kamp Maesa. Kami kemudian diajak menuju lapangan bermain gajah untuk menyaksikan pertunjukan berikutnya: 15 gajah saling bergandengan dengan belalai mengelilingi lapangan.

Atraksi "hulahop"

Dua gajah terdepan menggiring sebuah papan bertuliskan ucapan selamat datang. Mereka disambut tepuk tangan penonton. Rombongan gajah berikutnya membawakan atraksi hulahop dan berjoget, bermain bola, melukis, dan adu tusuk bola dengan seorang wisatawan asal Amerika. Dalam perlombaan tusuk bola, si bule rupanya kalah. Setiap kali dia gagal menusuk bola, penonton langsung menyoraki dengan ”Huuuu...”.

Akan tetapi, ketika si gajah berhasil menusuk bola dengan sebuah panah dari jarak hampir 10 meter, penonton langsung menyambutnya dengan tepuk tangan meriah. ”Pintar sekali ya,” dan ”Hebat banget!” Begitulah yang kerap terlontar dari mulut teman-teman di sekitar saya.

Para gajah rupanya benar-benar terlatih. Di akhir pertunjukan, mereka menjulurkan belalai, tanda siap menerima pisang dan tebu yang dibawa penonton dari luar arena. Ajang memberi makan gajah kembali menjadi momen untuk berfoto ria. Banyak juga pengunjung menyelipkan uang 20 hingga 50 bath (Rp 6.000-Rp 15.000) ke belalai si gajah. Uang-uang itu langsung disodorkan ke tangan sang pawang.

Kunjungan di Kamp Maesa diakhiri dengan perjalanan melintasi hutan tropis setempat, dengan menunggang gajah. Bagi yang tidak terbiasa akan ketinggian, perjalanan awalnya tampak menakutkan. Bisa dibayangkan, kita duduk di atas punggung seekor gajah setinggi hampir tiga meter, melintasi hutan yang terjal serta penuh semak dan pepohonan.

Setiap gerakan gajah terasa bagai guncangan-guncangan keras di udara. Belum lagi ketika menyusuri tanjakan, punggung kita seperti akan terjatuh ke tanah. Namun, pengelola kamp telah menyiapkan kayu sandaran dan pegangan tangan yang kokoh sebagai pengamanan bagi para penunggang gajah sehingga, dengan tetap berpegangan erat pada kayu, kita dijamin tidak akan jatuh.

Saoma (26), pawang gajah atau mahout yang menemani saya menunggang gajahnya, Puu Nung (16), mengatakan bahwa semua gajah di sini telah dilatih untuk bersahabat dengan manusia meski mereka sesungguhnya tergolong satwa liar. Gajah yang tinggal di Kamp Maesa sekitar 71 ekor, umumnya telah berusia separuh baya atau hampir pensiun. Mereka kemudian dijinakkan. Sebagian dari mereka masih dapat berkembang biak di sana. Adapun Puu Nung merupakan salah satu gajah termuda.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com