Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menu Kesetiaan di Pekalongan

Kompas.com - 18/01/2011, 08:45 WIB

Oleh: Myrna Ratna

MEREKA setia meneruskan tradisi selama puluhan tahun. Bahkan masakan mereka menjadi bagian dari denyut kehidupan Pekalongan.

Bu Siti (65) pelan-pelan meletakkan panci panas berisi kuah mendidih. Asap putih mengepul keluar ketika ia membuka tutup panci. Dilipatnya selembar daun pisang, dibentuk menjadi ”mangkok”, satu centong kuah pun dituangkan ke atas daun. Diremasnya sebuah kerupuk dan ia taburkan di atasnya....

Monggo diicipi...,” katanya, sambil mematahkan biting, yang dimaksudkan sebagai sendok. Tak lupa ia membubuhkan sambal di atas kerupuk.

Inilah Pindang Tetel Pekalongan yang, seperti juga nama Bu Siti, kondang sampai ke pelosok kota. Tiga puluh lima tahun sudah ia melakoni pekerjaannya sebagai penjual pindang tetel. Dengan memanggul panci panas di punggungnya, ia menawarkan dagangannya dengan berjalan kaki ke sudut-sudut kota.

Wajahnya selalu penuh senyum. Lihat juga penampilannya. Kebayanya begitu serasi dengan kainnya. Ada polesan gincu tipis dan bedak di wajahnya. Tidakkah punggungnya kelelahan menanggung beban selama puluhan tahun? ”Ya, kalau capek, saya berhenti. Sekarang wis tuwo, cepat capek,” katanya, tetap dengan tertawa.

Pindang tetel adalah tetelan (remah potongan daging dan gajih) yang dimasak dengan kuah rawon. Yang menentukan kelezatannya adalah rasa kuahnya yang agak manis dan gurih. Kuah itu hasil racikan rawon, bawang merah, bawang putih, keluwak, ketumbar, dan bumbu dasar lainnya. Kuah inilah yang dipakai untuk menggodok tetelan daging sapi. Untuk lebih nikmat, harus dimakan dan diseruput panas-panas, biasanya dengan lontong dan tentu saja dengan campuran sambal Bu Siti yang rasa pedasnya menerbitkan air liur.

Sate geblek

Tradisi juga dipegang kukuh keluarga Haji Wasduri, yang sudah 55 tahun berjualan sate geblek, sate dari daging kerbau. Ia mulai berjualan pada tahun 1955 dengan berkeliling naik sepeda, dari pagi sampai malam, untuk menawarkan sate. Sekitar 40 tahun kemudian, barulah Wasduri—yang meninggal dunia tahun 2004 dalam usia 69 tahun—bisa mengontrak tempat berjualan yang menetap. Lokasinya sampai sekarang di Jalan Raya Ambo Kembang.

”Bapak meninggal sesudah Ibu. Ibu meninggal lebih dulu tahun 2002. Kami, anaknya, ada 11 orang, tapi 10 saudara saya semua telah meninggal, tinggal saya sendiri,” kata Indah (30), satu-satunya anak Wasduri yang masih hidup.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com