Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Inspirasi dari Pinggiran Danau Toba

Kompas.com - 20/01/2011, 08:55 WIB

AWALNYA Tiopan Bernhard Silalahi tergelitik dengan ucapan almarhum Pramoedya Ananta Toer tentang budaya Batak. ”Pramoedya mengatakan, budaya Batak itu miskin. Tetapi, dalam tempo kurang dari 100 tahun, orang Batak sudah menguasai Indonesia,” kata Silalahi seraya menjelaskan panjang lebar, mengapa dia akhirnya berupaya menggagas pembangunan Museum Batak.

Museum yang diresmikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Selasa (18/1/2011), itu terletak di Balige, Kabupaten Toba Samosir, Sumatera Utara. Arsitektur bangunannya menggabungkan unsur tradisional Batak lewat berbagai ukiran khas suku bangsa ini yang menjadi pelapis pilar bangunan. Kesan modern dan futuristik terlihat dari selubung gedung yang terbuat dari aluminium alloy, namun sudah terukir berbagai motif Batak.

Gedung utama museum terdiri atas tiga lantai. Lantai dasar yang berupa ruang terbuka menjadi tempat penyimpanan berbagai patung batu tradisional.

Menjelang naik ke lantai dua, ada semacam fasad untuk bisa menikmati pemandangan di halaman depan, patung perunggu Si Raja Batak setinggi tujuh meter. Patung Si Raja Batak menjadi ikon khusus. ”Karena itulah personifikasi orang Batak atas nenek moyangnya,” ujar Kepala Museum Masrina Silalahi.

Patung karya Dunadi-seniman patung asal Yogyakarta itu-menurut Silalahi, dibuat untuk menggambarkan karakter fisik orang Batak.

Lantai dua menjadi ruang pamer utama. Di lantai ini semua benda koleksi disimpan. Koleksi utama adalah ulos, kain tenun khas Batak. Ulos tertua yang menjadi koleksi Museum Batak berumur hampir 500 tahun.

Sayap lainnya, diisi berbagai naskah Batak, senjata tradisional, berbagai jenis perhiasan, alat menumbuk padi, hingga tempat penyimpanan obat dan racun atau biasa disebut sahan. ”Orang Batak zaman dulu biasa membawa sahan dalam perjalanannya. Kalau diisi racun, berarti untuk berperang menaklukkan wilayah,” kata Masrina menjelaskan.

Naskah Batak tertua yang disimpan di Museum Batak, lanjutnya, berasal dari tahun 1800-an. ”Naskah-naskah yang ada berupa umpasa atau petuah-petuah nenek moyang kami, hingga tonggo-tonggo atau doa-doa dan berkat,” tambah Masrina.

Museum Batak boleh dibilang menjadi salah satu museum termodern di Indonesia. Display yang digunakan untuk menjelaskan setiap koleksi tertulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Penjelasannya ringkas dan mudah dimengerti. Hampir semua koleksi disimpan dalam ruangan kaca dengan pencahayaan menarik. ”Desain interiornya dirancang Rektor IKJ (Institut Kesenian Jakarta) Wagiyono Sunarto,” ujar Masrina.

Bagian atap Museum Batak menjadi tempat paling menyegarkan bagi pengunjung. Dilengkapi kafe sederhana yang berada di atap gedung, pengunjung bisa menikmati panorama Danau Toba, ditemani semilir angin yang menyejukkan.

Hari itu pemandangan Danau Toba dari atap museum semakin rancak karena mata pengunjung juga disuguhkan hamparan sawah menguning yang terletak persis di samping kompleks museum. ”Jangan salah, Balige ini berada 900 meter di atas permukaan laut. Ini bahkan lebih tinggi dari Puncak Pass,” kata Silalahi setengah promosi. (KHAERUDIN)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com