Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mrapen, Wisata Mitos Setengah Hati

Kompas.com - 09/07/2011, 15:30 WIB

GROBOGAN, KOMPAS.com — Nama Mrapen dikenal sebagai penyedia api abadi yang biasa digunakan untuk menyalakan obor berbagai event olahraga. Juga selalu menjadi langganan pengambilan api suci Waisak tiap tahun. Namun anehnya, sampai sekarang kondisi Mrapen sangat sederhana, dan belum bisa menjanjikan eksotisme sebuah obyek wisata. Ada apa?

Sebagai salah satu destinasi wisata di Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, Mrapen lebih banyak menjual mitos dan legenda. Sementara fasilitas sebagai sebuah obyek wisata nyaris terlupakan penanganannya.

Menurut salah satu petugas pengelola, Edy Yulianto, saat ini obyek wisata Mrapen dikelola oleh keluarga pemilik tanah, yakni ahli waris Nyi Parminah. "Dulu pernah dikelola pemerintah kabupaten, tapi sekitar tahun 1998 dikembalikan ke keluarga," kata Edy Yulianto, Sabtu (9/7/2011). Mitos dan legenda yang melingkupi api abadi Mrapen adalah adanya keyakinan masyarakat bahwa sumber api yang menyembur dari gas alam itu ditemukan oleh Sunan Kalijaga, salah satu tokoh dari Walisongo.

Diceritakan, ketika itu Sunan Kalijaga tengah melakukan perjalanan pulang dari Majapahit yang baru saja runtuh akibat kalah perang. Karena kelelahan, rombongan Sunan Kalijaga beristirahat di kawasan Mrapen. Mereka kesulitan memasak sehingga Sunan Kalijaga menancapkan tongkatnya ke tanah. Ketika dicabut, keluarlah api dari lubang itu. Tak jauh dari situ, ia menancapkan tongkatnya lagi, dan saat dicabut, menyemburlah air. Dengan adanya api dan air, mereka lalu bisa memasak dan makan di tempat itu.

Menurut Edy Yulianto, salah satu cucu Nyi Parminah, cerita itu disampaikan secara turun-temurun oleh kakek moyangnya. "Selain itu, api ini juga digunakan empu Supo untuk membuat keris kerajaan. Bahkan oleh Kerajaan Demak, tempat ini lalu dijadikan pusat produksi pusaka kerajaan," kata Edy. Abadi? Meskipun menyandang nama api abadi, ternyata api yang berasal dari semburan gas alam ini bisa mati juga. Biasanya hal itu terjadi saat hujan deras disertai angin kencang.

Menurut Edy Yulianto, jika api tersebut padam, pengelola akan menyalakannya kembali dengan korek api. "Saat ini apinya makin mengecil. Untuk melindungi biar tidak padam, kami menumpuk batu-batuan kapur. Jadi kalau siang api tidak kelihatan, tetapi jika kita menaruh kertas di atasnya, pasti terbakar," ujar Edy. "Gelar" api abadi terancam musnah karena semburan gas alam dari dalam tanah makin mengecil sejak tahun 1992. Kondisi ini diperburuk dengan adanya pengeboran gas dalam radius sekitar 1 kilometer dari Mrapen.

Meski sekarang sudah berhenti, pengeboran itu sempat beroperasi lebih dari dua tahun. Api Mrapen juga pernah diteliti oleh banyak akademisi, dan kesimpulan yang didapat juga berbeda-beda. "Ada yang menyimpulkan kalau jalur gasnya sekarang tersumbat sehingga api mengecil, ada pula yang menyimpulkan kalau kandungan gasnya menipis. Namun bagi kami selaku pengelola, mitos dan legenda terjadinya Mrapen yang menjadi daya tarik utama," kata Edy. Prima (23), seorang pengunjung menyebutkan, untuk menjadi obyek wisata, Mrapen masih butuh penanganan lebih serius.

"Kita lihat saja, akses jalan yang hanya 100 meter saja dibiarkan seperti sungai. Belum lagi soal fasilitas yang seadanya. Tempatnya juga kotor, sampah di mana-mana. Kalau berbicara sejarah, nyatanya juga tak ada pemandu wisata yang bisa menjelaskan mitos dan legenda itu," kata Prima yang asli dari Wirosari, Grobogan. Edy Yulianto menyebut, keluarga sudah kepayahan kalau harus mengeluarkan biaya pembangunan. Belum lagi anak keturunan Nyi Parminah yang sangat banyak sehingga dikhawatirkan justru akan menimbulkan iri hati dalam pembiayaan.

"Makanya pernah muncul ide agar obyek wisata alam ini dijual saja," kata Edy. Apa pun, api abadi Mrapen masih eksis dan menjadi tujuan wisata unggulan. Entah bermakna entah tidak, ia tetap akan ada di sana. Seperti batu di sungai, apa pun maknanya, ia tetap akan ada.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com