Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Kerajaan Gaib di Bintauna

Kompas.com - 06/04/2012, 14:38 WIB

KOMPAS.com - Dalam perjalanan dari Gorontalo menuju Manado, Budi Satria ikut bersama kami. Budi adalah teman dekat saya semenjak kuliah di Universitas Parahyangan, Bandung dan sama-sama anggota Mahitala Unpar. Bersamanya saya sering pergi mendaki gunung, mengarungi sungai, dan pergi ke tempat-tempat eksotis di pelosok Tanah Air.

Namun baru kali ini ia pergi bersepeda jarak jauh dan bersama kami berempat yang telah bersepeda bersama sejauh 600 kilometer. Ayah dua anak yang mengelola sebuah koperasi itu perlu waktu untuk penyesuaian.

Sabtu (18/3/2012) pagi sekali kami bersepeda menuju Atinggola melintasi jalan Trans Sulawesi yang beraspal mulus. Sepanjang 60 kilometer pertama jalan relatif landai mengitari Danau Limboto yang airnya kehijauan dan terkepung eceng gondok. Kami sempatkan mendaki ke Benteng Otanaha sekeluarnya dari kota. Dari puing-puing tiga benteng peninggalan Belanda di atas bukit, pandangan lepas ke arah danau bisa menyegarkan mata sebelum melanjutkan kayuhan.

Jalan berliku dan datar terasa agak membosankan sampai di daerah Kwandang. Selepas itu kami mendaki jalan berliku di perbukitan hampir sepanjang 30 kilometer. Budi yang belum terbiasa dengan ritme kayuhan kami berempat tertinggal jauh di belakang. Namun ia terus mengayuh pantang menyerah dan menemukan ritmenya sendiri.

Kami mencapai Atinggola sekitar pukul 20.00, saat kebanyakan rumah dan warung sudah pada tutup. Aktivitas sudah berakhir dan warga beranjak tidur. Kami singgah di rumah makan Phoenix sekaligus mengistirahatkan badan yang penat menempuh jarak 114 kilometer.

Besoknya kami berencana melanjutkan ke Maelang sejauh 104 kilometer. Namun medan berat dengan tanjakan-tanjakan panjang mengharuskan kami singgah dan bermalam di Bintauna, sekitar 25 kilometer sebelum Maelang.

Desa adat Bintauna di Kecamatan Sangkub, Kabupaten Bolaang Mongondow Utara, adalah salah satu kerajaan tua di pesisir utara Sulawesi Utara. Gapura kecil dekat pusat kota bertulisakan 'Selamat Datang di Desa Adat Bintauna' menggugah rasa ingin tahu saya tentang desa itu.

Ambo Palloto, warga asli Bintauna yang saya temui mengisahkan, pusat kerajaan Bintauna dulunya terletak di dekat Bendungan Sangkub, sekitar 20 km dari pusat kota saat ini. Di tempat itu berdiri bangunan kerajaan yang dikelilingi rumah warga desa. Kerajaan itu masih ada sampai tahun 1950-an.

"Zaman pemerintahan Presien Soekarno, raja masih memerintah desa dengan arif. Setelah raja meninggal, pemerintahan kerajaan tidak lagi diteruskan," tutur Ambo yang membuka warung makan di pinggir Jalan Trans Sulawesi.

Secara gaib, desa juga menghilang sehingga di kalangan penduduk, desa tersebut dikenal dengan nama Ilanga atau desa yang hilang. Pusat kerajaan lalu dipindah ke pinggiran Sungai Sangkub yang airnya mengalir tenang kehijauan dan pinggirannya penuh rawa bakau. Di tempat baru, ternyata warga desa banyak yang menjadi korban dimakan buaya besar yang saat itu masih banyak berkeliaran di sungai. Desa kemudian dipindahkan ke pusat kota yang sekarang ini.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com