Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mantra Bujang-Gadis, Mantra Pelet nan Kuno

Kompas.com - 14/10/2012, 09:32 WIB
Ni Luh Made Pertiwi F

Penulis

KOMPAS.com – “Lamun anak Sulaiman, kasihini aku Siti Fatimah,” demikian kira-kira bunyi sepenggal lantunan mantra bujang-gadis seperti diungkapkan Oki Laksito, staf di Museum Negeri Provinsi Lampung “Ruwa Jurai”.

Secarik kertas usang bergambar dan bertuliskan aksara Lampung yang sudah uzur. Kertas ini menarik perhatian karena bentuknya yang memanjang dan terdiri dari gambar maupun aksara Lampung. Berbeda dengan kertas-kertas kuno lainnya.

“Ini dipakai sebagai mantra kuno, yah semacam pelet, supaya orang yang kita sukai juga suka dengan kita,” cerita Oki.

Naskah itu terdiri dari enam halaman. Empat halaman pertama tergambar sosok laki-laki. Menurut Oki, si pembuat naskah itu adalah perempuan. Ia harus menggambarkan kesukaan laki-laki yang diincarnya ke kertas tersebut.

Maka, tergambarlah sosok laki-laki itu empat halaman pertama yang menunjukkan si laki-laki hobi memancing, senang berpesta, hingga pandai bergaul. Baru kemudian di dua sisa halaman dituliskan mantra dalam aksara Lampung.

“Ini ditemukan di Desa Hanakau, Lampung Barat,” tutur Oki.

Namun, ini bukan sekadar mantra. Ada makna mendalam di baliknya. Baik naskah mantra bujang-gadis, maupun naskah kuno lainnya yang ditulis di media kulit kayu, bambu, hingga daun lontar, banyak yang menggunakan aksara Lampung. Ini membuktikan Lampung menjadi salah satu suku dari sembilan suku di Indonesia yang memiliki aksara.

Dari harimau sampai jalur sutera

Mantra bujang-gadis hanya satu dari koleksi-koleksi menarik lainnya di museum ini. Di lantai satu sebelah kiri, pengunjung dapat melihat sejarah alam dengan binatang-binatang langka yang hidup di Lampung lengkap dengan efek suara suasana hutan.

Masih di ruangan yang sama, tampak diorama letusan Gunung Krakatau di tahun 1883 yang menjadi legenda dunia. Selanjutnya adalah ruang koleksi berupa menhir, arca, hingga fosil manusia purba. Setelah itu beranjak ke ruangan sebelah kanan dari pintu masuk museum tersebut.

Ruang sejarah klasik Hindu Buddha mengawali pameran koleksi museum. Di sini, pengunjung bisa melihat prasasti bungkuk dan prasasti Palas Pasemah yang merupakan tertua dan berasal dari abad ke-7 Masehi pada masa Kerajaan Sriwijaya dan dipercaya sebagai cikal bakal berkembangnya tradisi tulis.

Belanjut kemudian adalah ruangan sejarah Islam yang menampilkan aneka koleksi bernuansa Islam seperti kalirafi, prasasti, dan keramik. Islam diperkirakan masuk ke Lampung di abad ke-16 Masehi. Selanjutnya adalah ruangan filologika yang berisikan naskah-naskah kuno, salah satunya mantra bujang-gadis.

Selanjutnya adalah ruang sejarah zaman kolonial yang menampilkan beragam senjata perang baik dari pihak Belanda maupun berbagai senjata di nusantara. Salah satunya adalah pedang milik Radin Inten II, pahlawan asal Lampung yang berjuang melawan kolonial.

Keramik-keramik dari China, Eropa, maupun Jepang, ditampilkan di ruang kramalogika. Sementara di ruang numismatika dan heraldika, pengunjung bisa melihat uang kertas kuno hingga surat berharga dan stempel yang pernah digunakan di Lampung.

Terakhir adalah ruang jalur sutra yaitu jalur perdagangan dunia di abad empat sampai tujuh belas masehi. Jalur ini melintasi Lampung sebagai penghasil kopi dan lada. Hingga kini, Lampung masih menjadi pengekspor kopi terbesar di Indonesia.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com