Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Angin Perubahan di Yangon

Kompas.com - 20/12/2012, 09:10 WIB

Oleh Aryo Wisanggeni G

Memasuki lorong 38th Street, suara bait-bait rekaman doa dari sebuah pengeras suara para pengumpul derma di Jalan Bogyoke Aung San Yangon, Myanmar, makin jelas terdengar. Celoteh bocah dan percakapan rumah tangga ganti terdengar dari balkon deretan flat di sepanjang lorong pada Senin (19/11/2012) pagi yang cerah.

Dinding flat-flat ala Eropa itu menghitam oleh jejak air. Centang-perenang tali jemuran di balkon flat yang penuh cucian berpadu dengan ratusan kabel yang terentang kusut selebar jalan. Terpal-terpal plastik yang dipasang sekenanya sebagai naungan pintu toko-toko di lantai dasar flat, tempat kedai-kedai kopi yang tak memompa gairah.

Beberapa kali Tubagus Andre Sukmana yang menemani pagi itu berdecak heran. ”Ini Yangon sudah punya permukiman vertikal ala Eropa ya, pasti sisa sebelum rezim junta militer,” kata Andre.

Flat-flat di lorong 38th Street memang seperti artefak kosmopolitan Yangon, kota terbesar di negara yang memerdekakan diri dari penjajahan Inggris pada 1948 itu. Lorong di kawasan pesisir Yangon itu adalah bagian dari kawasan permukiman yang dikembangkan Pemerintah Kolonial Inggris sejak menganeksasi Yangon pada 1852.

Yangon awalnya adalah sebuah permukiman kecil bernama Dagon (sesuai nama pagoda megah Shwe Dagon). Pada 1755, Raja Aluang Phya membangunnya menjadi kota yang kemudian dinamai Yangon. Yangon memang kota dunia, namun bukan Inggris yang membuat Yangon kosmopolitan.

Lorong deretan flat tua yang menebar aroma kota tua Eropa itu hanya berjarak sekitar 4 kilometer dari Pagoda Shwe Dagon, sebuah tempat ziarah umat Buddha dari seluruh dunia yang dibangun 2.500 tahun lalu oleh Raja Ukkalapa. Tiap malam, kilau emas pagoda berornamen rumit setinggi 326 kaki itu seperti magnet yang menguapkan selu- ruh jejak kosmopolitan Eropa di Yangon.

Pagoda nan memesona itu adalah mozaik sejarah besar sebuah bangsa yang menghimpun 153 etnis yang memadati celah sempit jalur sutra penghubung Asia dan Asia Tenggara. Tiga fase imperium Myanmar erat menggenggam nadi perdagangan internasional jalur sutra, ditandai berkuasanya tiga raja penyatu Myanmar, Maharaja Sri Aniruddha Deva Anawrahta (1044 – 1077), Raja Bayint Naung (1551 – 1581), dan Raja Alaungmintaya (1752 – 1760).

Begitu berkuasanya dan kayanya raja Myanmar, hingga pakaian kebesaran sang raja terdiri dari mahkota, jubah, baju kebesaran, dan terompah berhias emas 11 kilogram! Dari masa ke masa, Myanmar adalah pemain penting percaturan sejarah Asia Tenggara.

Yangon kini

Flat-flat tua di lorong 38th Street adalah saksi sejarah Myanmar modern, yang disebut Dr Zaw Win PhD dalam bukunya, A Changing Yangon, pernah menjadi pesaing New York di Amerika Serikat. Pada 1920 Yangon yang berpopulasi 300.000 orang adalah salah satu kota bandar tersibuk di dunia, bersaing dengan New York. Namun, flat renta nan kusam itu bukan jejak Myanmar hari ini.

Yangon hari ini ada di ujung lorong 38th Street, di Jalan Anawrahta yang menyuguhkan ”darah muda” Yangon. ”Darah muda” yang diasupi demokratisasi dan reformasi politik Presiden Myanmar Thein Sein sejak setahunan terakhir.

”Ini baru Myanmar yang baru,” kata Andre yang sontak menjadi ”Mat Kodak” dadakan. ”Foto-foto bagus, barang lama bisa bersanding barang baru, kontras,” ujarnya sambil terus memotret apa saja.

Hati-hati menyeberang jalan di Yangon. Lalu lintas semrawut karena mobil-mobil baru dengan kemudi sopir di kanan kesulitan menyalip bus-bus tua yang padat penumpang. Bukan salah bus-bus tua itu, karena aturan berkendara Myanmar mengharuskan kendaraan melaju di sisi kanan jalan.

Aturan menyalip, tentu saja harus dari sisi kiri, dan menyalip ke kiri dengan mobil ”setir kanan” sungguh merepotkan. Apa daya, peluang impor mobil baru di Myanmar justru lebih banyak mendatangkan mobil ”setir kanan” daripada mobil ”setir kiri”.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com