Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Desember, Pesta dan Cinta

Kompas.com - 30/12/2012, 02:32 WIB

 Kris Razianto Mada

Desember adalah pesta. Begitulah yang tampak hampir di semua sudut Toraja, Sulawesi Selatan, di pengujung Desember. Di tengah pesta yang seolah tiada habisnya, orang Toraja memupuk cinta dan merawat kekerabatan.  

Lapangan di dekat rumah keluarga Kala’lembang di Desa Tiromanda, Tana Toraja, Rabu (26/12) sore, dipadati ribuan orang. Mereka bersorak- sorai menyaksikan mallaga tedong (adu kerbau) yang merupakan bagian dari rambu solo’ atau upacara kematian. Suasana begitu riuh dan gembira. Teriakan bercampur tawa pecah di mana- mana.

Rambu solo’ itu digelar untuk Bertha Mingu Kala’lembang yang meninggal November lalu. Rangkaian upacaranya dimulai sejak Bertha meninggal dan akan berakhir saat dikubur hari Senin (31/12). Selain keluarga Kala’lembang, ada beberapa keluarga lain yang menggelar upacara serupa. Dalam sehari bisa digelar 10 rambu solo’ di berbagai sudut Toraja. Di luar itu, ada sejumlah pesta dan pertemuan lain dalam skala lebih kecil.

Kecuali hari Minggu, boleh dikatakan, tidak ada hari tanpa pesta dan upacara. Setiap tiga hari sekali setidaknya satu truk minuman diturunkan di Pasar Rante Pau, Toraja Utara, dan Makale, Tana Toraja. Minuman itu selanjutnya mengalir ke rumah penduduk sebagai jamuan untuk tetamu dan perantau Toraja yang pulang kampung.

Desember memang menjadi puncak berkumpulnya orang Toraja. Kampung-kampung yang tadinya sepi tiba-tiba ramai oleh ribuan perantau yang mudik untuk merayakan Natal dan Tahun Baru. Jalan-jalan kampung, yang biasanya dilalui petani dan kerbau, tiba-tiba disesaki mobil-mobil baru. Saking barunya, sebagian mobil itu bahkan belum dilengkapi pelat nomor polisi resmi. Kursinya pun masih terbungkus plastik.

Begitulah cara sebagian perantau Toraja menegaskan kesuksesan mereka di rantau. Perempuan pemudik mengenakan aneka perhiasan berwarna emas: kuning dan putih. Sebagian lagi menyandang tas berlogo Furla, Gucci, dan Miu Miu, dengan syal merek Prada dan Louis Vuitton. Perempuan-perempuan berbau kota besar itu berkumpul di tengah perempuan desa yang menyandang seppu (tas kain Toraja) dan berkalung selendang tenun Toraja. Para remaja pemudik sibuk dengan ponsel pintar dan komputer tablet. Sebagian besar menggunakan alas kaki dengan label luar negeri.

Sebagian barang bawaan perantau dipinjamkan atau diberikan kepada kerabat di kampung halaman. Seperti terlihat saat seorang warga Kampung Parinding, Toraja Utara, membawa kamera SLR digital, Senin (24/12) sore. Hampir 15 menit ia membolak- balik kamera yang sama sekali belum tergores dan ditempeli noda apa pun lantaran ia belum tahu cara menggunakannya.

Mau ditaruh di mana 

Kedatangan pemudik itulah yang mendorong digelarnya setumpuk pesta dan upacara, termasuk rambu solo’ yang lazim digelar antara bulan Juli dan September. Antropolog Universitas Hasanuddin, Stanislaus Sandarupa, mengatakan, bulan Desember seharusnya orang memperingati kelahiran Yesus Kristus dan merayakan Tahun Baru, bukan mengadakan upacara kematian rambu solo’. Apa boleh buat, banyak orang berpikir praktis saja, mumpung keluarga dari rantau berdatangan, digelarlah rambu solo’. Saat itulah perantau jorjoran mengeluarkan uang dan kerbau untuk menggelar rambu solo’.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com