Kris Razianto Mada
Lapangan di dekat rumah keluarga Kala’lembang di Desa Tiromanda, Tana Toraja, Rabu (26/12) sore, dipadati ribuan orang. Mereka bersorak- sorai menyaksikan mallaga tedong
Rambu solo’
Kecuali hari Minggu, boleh dikatakan, tidak ada hari tanpa pesta dan upacara. Setiap tiga hari sekali setidaknya satu truk minuman diturunkan di Pasar Rante Pau, Toraja Utara, dan Makale, Tana Toraja. Minuman itu selanjutnya mengalir ke rumah penduduk sebagai jamuan untuk tetamu dan perantau Toraja yang pulang kampung.
Desember memang menjadi puncak berkumpulnya orang Toraja. Kampung-kampung yang tadinya sepi tiba-tiba ramai oleh ribuan perantau yang mudik untuk merayakan Natal dan Tahun Baru. Jalan-jalan kampung, yang biasanya dilalui petani dan kerbau, tiba-tiba disesaki mobil-mobil baru. Saking barunya, sebagian mobil itu bahkan belum dilengkapi pelat nomor polisi resmi. Kursinya pun masih terbungkus plastik.
Begitulah cara sebagian perantau Toraja menegaskan kesuksesan mereka di rantau. Perempuan pemudik mengenakan aneka perhiasan berwarna emas: kuning dan putih. Sebagian lagi menyandang tas berlogo Furla, Gucci, dan Miu Miu, dengan syal merek Prada dan Louis Vuitton. Perempuan-perempuan berbau kota besar itu berkumpul di tengah perempuan desa yang menyandang seppu (tas kain Toraja) dan berkalung selendang tenun Toraja. Para remaja pemudik sibuk dengan ponsel pintar dan komputer tablet. Sebagian besar menggunakan alas kaki dengan label luar negeri.
Sebagian barang bawaan perantau dipinjamkan atau diberikan kepada kerabat di kampung halaman. Seperti terlihat saat seorang warga Kampung Parinding, Toraja Utara, membawa kamera SLR digital, Senin (24/12) sore. Hampir 15 menit ia membolak- balik kamera yang sama sekali belum tergores dan ditempeli noda apa pun lantaran ia belum tahu cara menggunakannya.
Kedatangan pemudik itulah yang mendorong digelarnya setumpuk pesta dan upacara, termasuk rambu solo’ yang lazim digelar antara bulan Juli dan September. Antropolog Universitas Hasanuddin, Stanislaus Sandarupa, mengatakan, bulan Desember seharusnya orang memperingati kelahiran Yesus Kristus dan merayakan Tahun Baru, bukan mengadakan upacara kematian rambu solo’. Apa boleh buat, banyak orang berpikir praktis saja, mumpung keluarga dari rantau berdatangan, digelarlah rambu solo’. Saat itulah perantau jorjoran mengeluarkan uang dan kerbau untuk menggelar rambu solo’.