Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Noemuti Kote, Obyek Wisata Rohani yang Terabaikan

Kompas.com - 28/03/2013, 15:55 WIB

NOEMUTI Kote sebenarnya layak menjadi obyek wisata rohani bernilai tinggi karena memiliki ritual kure, tradisi keagamaan peninggalan Portugis. Meski jaraknya hanya belasan kilometer dari kota kabupaten setempat, kampung tua itu hingga kini belum juga lepas dari isolasi.

Terletak di tepi alur sungai, Noemuti Kote adalah bagian dari Kelurahan Noemuti, Kecamatan Noemuti, Kabupaten Timor Tengah Utara, di Pulau Timor bagian Nusa Tenggara Timur. Posisinya sekitar 180 km sebelah timur Kota Kupang atau 18 km sebelum Kefamenanu, kota Kabupaten Timor Tengah Utara.

Kunjungan ke Noemuti Kote bisa melalui dua pilihan. Pertama, melalui persimpangan Lintas Timor di Bijeli, sekitar 16 km sebelah barat Kefamenanu. Jalan penghubung Bijeli-Noemuti Kote jaraknya hanya sekitar 2 km, tetapi harus menyeberangi Sungai Noemuti. Karena belum dilengkapi jembatan, transportasi—terutama musim hujan—praktis terputus karena sungai itu sering mengantarkan banjir.

Pilihan lainnya langsung dari Kefamenanu ke Noemuti Kote melalui Bijapasu. Jaraknya sekitar 20 km dan tanpa jembatan karena tidak melintasi alur sungai besar. Namun jalannya tidak nyaman. Selain berlubang, sebagian masih berupa jalan pengerasan batu dan kerikil bercampur pasir, serta sempit.

Sebenarnya jembatan permanen menghubungkan Bijeli-Noemuti Kote sudah dibangun sejak tiga tahun lalu. Namun, hingga Senin (11/3/2013) petang, yang ada hanya tiang-tiang beton tanpa sambungan badan jembatan di atasnya.

Mobilitas warga dari atau ke Noemuti Kote, terutama selama musim hujan, praktis terganggu akibat banjir. ”Kami tidak tahu apa kendalanya hingga belum juga kelihatan tanda- tanda kelanjutan pembangunannya (jembatan),” keluh Geradus Mamo, pensiunan pegawai negeri sipil yang juga mantan Lurah Noemuti.

Pada Senin petang itu, Geradus satu di antara sejumlah warga dari arah Bijeli yang batal melanjutkan perjalanan ke Noemuti Kote akibat banjir. Sejumlah pemuda memanfaatkan kondisi itu. Mereka siap menyeberangkan warga dengan mendongko. Jasanya per orang dihargai Rp 5.000 untuk anak-anak dan Rp 10.000 bagi orang dewasa.

Selain merupakan kampung tua, Noemuti Kote adalah pusat Paroki Noemuti, yakni pusat penggembalaan umat Katolik yang dikepalai seorang pastor atau imam. Jangkauan pelayanannya tidak hanya wilayah Noemuti Kote, tetapi meliputi sejumlah desa di sekitarnya, yang sebagian di antaranya di seberang Sungai Noemuti.

Di Noemuti Kote sejak lama berdiri SMP Katolik St Yosef. Para siswanya selain dari kampung itu juga dari sejumlah desa tetangga, termasuk Bijeli. Itu berarti mereka terpaksa batal ke sekolah ketika banjir menghadang.

Tokoh masyarakat Noemuti Kote, Damianus Salem (44), mengakui, kendala jembatan dam buruknya jalan membuat kampung itu tetap dalam belenggu isolasi. Dampaknya tidak hanya mengganggu transportasi sehari-hari dari atau ke Noemuti Kote. Pada hari raya keagamaan, tidak jarang sebagian umat dari seberang sungai batal mengikuti misa atau upacara keagamaan lainnya di Noemuti Kote karena Sungai Noemuti meluap. Pada saat yang sama, sebagian siswa SMP terganggu kegiatan sekolahnya akibat banjir.

Padahal, Noemuti, khususnya Noemuti Kote, sejak lama dikenal hingga luar negeri karena kesetiaan umat Katolik setempat mempertahankan ritual kure. Seperti dipaparkan pakar misiologi bidang pewartaan dan budaya, Romo Ockto Naif Pr, tradisi keagamaan peninggalan Portugis itu berupa kegiatan berjalan sambil berdoa dari rumah ke rumah. Maknanya ganda. Selain devosi untuk keselamatan jiwa, juga bermakna menjaga sekaligus mengeratkan kebersamaan warga antarsuku di Noemuti Kote.

”Sebenarnya banyak umat atau pelancong dari berbagai pelosok Indonesia bahkan luar negeri tertarik mengikuti prosesi kure di Noemuti Kote karena unik. Namun, niat mereka terhambat karena Noemuti Kote hingga sekarang masih terisolasi. Kami mendesak pembangunan jembatan yang menghubungkan Noemuti Kote dari arah Bijeli segera dilanjutkan,” kata Damianus.

Tanpa penunggu

Selain keberadaan kampung yang masih terisolasi, kesetiaan umat Katolik Noemuti Kote mempertahankan tradisi ritual keagamaan kure belakangan menghadapi tantang serius. Di antaranya terkait keberadaan ume mnasi atau rumah adat induk sejumlah suku yang sudah ditinggalkan ahli waris utamanya. Rumah yang menjadi titik perhentian dalam rangkaian prosesi kure sebagian kini malah ”dititipkan” kepada anak perempuan dalam rumah bersama suaminya yang dari luar.

Bahkan tidak sedikit dari 18 ume mnasi di Noemuti Kote kini tanpa penghuni karena keluarga turunannya bekerja atau menikah dan menetap di daerah lain. Ini terjadi pada ume mnasi hoanoe, tune, namseo, dan ume mnasi kove.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com