Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Berkunjung ke "Negeri di Atas Awan"

Kompas.com - 21/04/2013, 11:27 WIB

KOMPAS.com - Berwisata ke Pulau Tidore, Provinsi Maluku Utara, terasa kurang lengkap jika belum menginjakkan kaki ke Gura Bunga. Nama Gura Bunga sulit dipisahkan dari keberadaan Kesultanan Tidore. Keduanya sama-sama berperan penting dalam menjaga keharmonisan kehidupan bermasyarakat dan pemerintahan sampai sekarang ketika usia Kota Tidore menginjak 905 tahun.

Gura Bunga adalah sebuah kelurahan yang berada di lereng Gunung Kie Matubu. Gunung setinggi 1.730 meter itu selalu diselimuti kabut. Kalau Anda menggunakan pesawat terbang menuju Ternate, saat hendak mendarat di Bandara Babullah, Ternate, Anda akan melihat Gunung Gamalama di Pulau Ternate dan Gunung Kie Matubu di Pulau Tidore. Apalagi dilihat dari Keraton Tidore di siang hari, Gunung Kie Matubu begitu anggun menampakkan kewibawaannya saat kabut menyelimutinya. Kelurahan Gura Bunga berada di ketinggian 713 meter dan dihuni sekitar 80-an kepala keluarga.  

Nama Gura Bunga mengandung arti kebun bunga. Wajar saja ketika menginjakkan kaki di kelurahan ini, Anda akan disambut deretan bunga warna warni di pinggir jalan.

Lurah Gura Bunga, H Abdullah Husain, mengemukakan hubungan Gura Bunga dengan Kesultanan Tidore dan pemerintah yang dipimpin wali kota sangat erat. "Ini ibarat satu tungku dalam menunjang pembangunan, baik adat, budaya dan melayani masyarakat dan pemerintah," kata Abdullah.

Di Gura Bunga inilah dikenal sebagai tempat tinggal para sowohi atau penghubung antara pihak Kesultanan Tidore dengan roh para leluhur. Budaya bersih warga Tidore sudah Anda rasakan ketika tiba di Soasio, ibukota Tidore Kepulauan. Begitu pula saat memasuki Kelurahan Gura Bunga, rumah-rumah penduduk tertata rapi, bersih dan dihiasi bunga-bunga indah. Udara pun terasa sejuk.

Abdullah, yang bertugas sebagai sowohi dan sekaligus Lurah Gura Bunga menuturkan, zaman dahulu ketika Sultan Tidore hendak bepergian ke wilayahnya yang tersebar hingga Papua, misalnya, maka sultan akan meminta nasihat sowohi untuk mencari hari baik bepergian ke sana.

"Pemerintahan yang kami pegang akan berwujud di pemerintahan yang ada di kesultanan. Ada panglima laut, darat, udara dan prajuritnya. Di sini (Gura Bunga) gaib, sementara wujudnya di sana (Kesultanan Tidore). Sebelum Indonesia menjadi negara, di Tidore sudah ada negara yang dipimpin orang gaib dan berwujud di Kesultanan Tidore dalam menjalankan roda pemerintahan (saat itu)," papar Abdullah. Itulah sebabnya kedudukan sowohi dan sultan di struktur Kesultanan Tidore setara.

Sebagai tempat tinggal para sowohi, di Gura Bunga terdapat enam rumah puji untuk enam sowohi yang ada. Usia rumah puji tersebut ditaksir ratusan tahun. Jangan membayangkan rumah puji seperti rumah modern, dialiri listrik, berperabotan serba elektronik. Malah sebaliknya, rumah tempat tinggal para sowohi ini sangat sederhana. Cirinya berdinding bambu, berlantai tanah dan beratapkan pelepah daun sagu. Sementara rumah-rumah warga di sekitarnya beratapkan seng, berdinding tembok dan berlantai keramik.

"Sejak dahulu, kondisi rumah seperti ini, berdinding bambu, berlantai tanah dan tanpa listrik. Kita tetap mempertahankannya," kata Yunus Hatari, salah satu Sowohi di Gura Bunga.


rumah-sowohi
Rumah Yunus Hatari di Kelurahan Gura Bunga, Pulau Tidore, Maluku Utara. (Kompas.com/I Made Asdhiana)

Yunus Hatari menjadi sowohi sejak 2001. Dia memimpin lima sowohi yang berasal dari lima marga yakni Mahifa, Toduho, Tosofu, Tosofu Malamo, dan Fola Sowohi. Pada hari Senin, Selasa, Kamis, Jumat, dan Sabtu Yunus Hatari melakukan tugasnya sebagai manusia biasa, yakni bekerja di sawah. "Tapi kalau hari Rabu dan Minggu saya bertugas sebagai sowohi," katanya sembari tersenyum.

Hari Rabu dan Minggu ibaratnya hari dimana Yunus menerima banyak tamu dari berbagai kalangan dan beragam kepentingan, mulai dari meminta kesembuhan, sukses dalam karir, meminta restu untuk menduduki posisi tertentu dan sebagainya. Tak heran pada hari-hari tersebut Gura Bunga akan dipenuhi para tamu. Mobil para tamu akan berderet rapi dan memenuhi jalan. Apalagi menjelang Pemilihan Gubernur di Maluku Utara, para cagub bergiliran datang ke Gura Bunga untuk meminta restu para sowohi.

"Tamu saya tidak hanya dari lima marga tadi, tapi juga bisa datang dari luar Tidore. Tamu dari Jakarta, bahkan turis asing pun banyak datang ke sini," kata Yunus.

"Kami doakan permintaan mereka. Kuncinya satu, mereka percaya dan selanjutnya adalah urusan mereka, berusaha, bekerja keras, bersikap jujur agar permintaan terkabul," sambung Yunus. Bahkan warga setempat percaya kalau ada pejabat datang ke Gura Bunga dan Gunung Kie Matubu terselimut awan, itu berarti permintaannya akan terkabul.

Sebelum Festival Tidore 2013 digelar, peran sowohi pun sangat berpengaruh. Kepada Kompas, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Tidore Kepulalaun, Asrul Sani Soleman mengatakan, keahlian sowohi juga dimanfaatkan untuk merestorasi budaya Tidore. Ini dilakukan karena selama 43 tahun (1956-1999) atau selama tidak ada yang menjabat sebagai Sultan tidore, banyak budaya Tidore yang hilang.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com