Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Andong, "Wesi Aji" Lintas Generasi...

Kompas.com - 17/06/2013, 10:11 WIB

Oleh: A Budi Kurniawan dan Thomas Pudjo W

TIGA dekade terakhir, ekspansi bisnis kendaraan bermotor di Yogyakarta semakin menggurita. Meski demikian, hegemoni itu tak mampu menghapuskan andong, kendaraan lokal yang bagi sebagian pemiliknya dianggap sebagai wesi aji atau barang peninggalan berharga sekaligus bertuah.

Itulah keunikan Yogyakarta. Kereta kuda atau andong di kawasan ini umumnya tua, berusia lebih dari 50 tahun, bahkan ada yang ratusan tahun. Hal ini bisa menjadi catatan sejarah perjalanan transportasi Yogyakarta sejak zaman raja-raja hingga kini. Keberadaan kereta kuda di Yogyakarta adalah monumen sejarah yang keunikan dan keantikannya bisa terancam.

Paryono (33), kusir andong asal Dusun Tanjung, Desa Tanjung, Kecamatan Sewon, Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta, menganggap andong sebagai wesi aji karena kereta kuda dengan kerangka besi ini bisa bertahan selama hampir 200 tahun. Secara turun-temurun, andong milik Paryono diwariskan mulai dari generasi kakek buyutnya hingga sekarang.

”Ini wesi aji. Saya tak berani mengubah apa pun kecuali memperbaiki,” tuturnya, beberapa waktu lalu. Karena telah menjadi warisan turun-temurun dari leluhur, Paryono berjanji tidak akan menjualnya. Sampai sekarang ia masih menjaga keaslian andong itu seperti apa adanya.

Secara rutin, Paryono selalu mengecek perlengkapan andongnya, mulai dari cagak payonan atau atap andong, spatbor, buntutan, pikulan, roda, velg andong, hingga boom, besi penarik andong yang dikaitkan dengan pakaian kuda.

Agar tetap nyaman, pakaian kuda, seperti openg-openg dan teropong atau penutup mata kuda, pernik hiasan di kepala kuda, besi kendali yang dipasang di bagian mulut kuda, dan aksesori lain untuk menampilkan kegagahan seekor kuda—seperti dasi dan kalung beserta ham, bulatan besi besar yang dipasang di leher kuda dengan pelapis kulit serta busa—juga selalu dibersihkan dan diperiksa.

Dilihat dari kondisi fisik, andong milik Paryono sedikit berbeda dengan andong umumnya. Cagak payonan atau tiang peneduhnya masih terbuat dari besi utuh berlapiskan kuningan, bukan stainless steel seperti andong lain. Sumbu roda andong bagian belakang tampak lebih besar dengan jari-jari kayu jati tua yang kuat. Rautan yang tak begitu sempurna justru menambah keantikan kereta ini.

”Sumbu roda andong buatan sekarang ukurannya lebih kecil. Jari-jarinya juga halus karena diraut dengan mesin bubut,” ujarnya lagi.

Paryono menjadi saksi sejarah ketangguhan andong yang telah bertahan selama empat generasi di keluarganya. Ia mendapat warisan andong langsung dari kakeknya, Jodikromo. Ayahnya, Naryanto (50), dan dua saudaranya, Pargiyanto (34) serta Paryadi (23), juga berprofesi sebagai kusir andong. Setiap hari mereka berangkat-pulang Bantul-Kota Yogyakarta untuk menawarkan jasa andong kepada wisatawan.

”Setahun sekali biasanya saya membuat sesaji yang diletakkan di andong. Sesaji itu bukan untuk kesakralan andong, tetapi sebagai ungkapan syukur bahwa warisan ini telah menemani saya dan leluhur selama puluhan, bahkan ratusan tahun,” ujarnya.

Kendaraan utama

Andong pada masanya memiliki fungsi yang teramat penting. Orang hamil pun bisa memanfaatkan jasa ini. Kasi (63), pria asal Bantul yang telah 46 tahun bekerja sebagai kusir andong, mengungkapkan, tiga bayi pernah lahir di atas andong miliknya. Sekitar tahun 1980, tetangganya yang hamil tua tak mampu menahan kelahiran hingga sampai di rumah sakit. Akibatnya, bayi pun lahir di atas andong. Kejadian serupa bahkan berulang sampai tiga kali.

”Saya masih ingat betul, dengan dibantu dukun, bayi mereka lahir di jok belakang andong saya. Dulu kendaraan utama masyarakat memang hanya andong karena mobil masih jarang. Meski jelek begini, andong ini jasanya sangat besar,” ujar Kasi sembari mengelus andong tua miliknya.

Masih terekam di benak Kasi, tahun 1960-an, Jalan Malioboro masih satu jalur. Karena tak ada angkutan umum, siapa pun pasti naik andong jika bepergian.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com